KAJIAN KEBIJAKAN PUPUK BERSUBSIDI DI INDONESIA


Oleh: Pangi Syarwi


Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang  pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan HET serta ditetapkan di penyalur resmi  Lini IV. Lini IV adalah lokasi gudang atau kios pengecer di wilayah kecamatan dan/ desa yang ditunjuk atau ditetapkan oleh distributor.

Pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi sektor pertanian atau sektor yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, hijauan pakan ternak. Sasaran pupuk bersubsidi adalah petani, pekebun dan peternak yang mengusahakan lahan paling luas 2 hektar setiap musim tanam per-keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan/atau udang paling luas 1 hektar.

Program pemberian pupuk bersubsidi sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tujuannya kebijakan ini adalah untuk meringankan beban petani agar ketika mereka memerlukan pupuk untuk tanaman pangannya pupuk tersedia dengan harga yang terjangkau.

Terdapat argumentasi bahwa, pertama pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil pangan. Kedua, petani Indonesia umumnya tidak bisa memanfaatkan teknologi pupuk ini karena kurang mampu membeli sesuai dengan harga pasar. Sehingga pemerintah Indonesia yang berkepentingan dalam peningkatan produktifitas hasil pangan demi ketahanan pangan Nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani.

Namun sampai sekarang petani sebagai penerima manfaat program ini masih sulit untuk mengaksesnya. Petani kerap kali menemukan pupuk langka, harga pupuk diatas Harga Eceran Tertinggi (HET), dan penyalahgunaan mekanisme distribusi pupuk. Padahal berdasarkan regulasi saat ini, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi telah ditetapkan dan ditataniagakan dengan HET melalui penyaluran resmi.

Meminjam teori Richard Rose (1969) sebagai seorang pakar kebijakan ia menyarankan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hendaknya dimengerti sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya  yang akibatnya dirasakan betul oleh rakyat dan bagi mereka yang bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri.

Kebijakan menurutnya dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu, tapi menimbang untung ruginya.

Kebijakan  pupuk bersubsidi awalnya bertujuan untuk membantu petani memperoleh pupuk dengan harga subsidi, namun realitasnya petani sulit memperoleh pupuk di darah, bahkan ada petani karena semakin kesalnya, berapapun harga pupuk siap kami beli, namun pupuk yang akan dibeli tersebut tidak ada.

A.    Rumusan Masalah Yang Ingin Diselesaikan Melalui Kebijakan Publik

Kekurangan pupuk dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman yang tidak normal sehingga menurunkan hasil panen petani atau bahkan terjadi gagal panen. Gagal panen inilah yang selanjutnya menjadi ancaman dalam menciptakan ketahanan pangan.

Jika situasi kelangkaan pupuk dibiarkan berlangsung lama dan tidak segera diambil tindakan yang tepat oleh instansi terkait, akan mengakibatkan timbul rasa kurang adil kepada petani, menurunkan tingkat kesejahteraan petani, mengganggu ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian nasional, serta dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Adapun yang menjadi rumusan masalah  yang ingin diselesaikan dalam kebijakan pupuk bersubsidi pada policy paper yang penulis buat ini antara lain;

1. Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab kebijakan pupuk bersubsidi tidak efektif dan efesien setelah     di implementasikan?

2. Apa  peta masalah yang terjadi dalam pelaksanaan program  pupuk bersubsidi?

3. Hal- hal apa saja yang belum diatur mengenai program  pupuk bersubsidi dan apa rekomendasi bagi perbaikan kebijakan ke depan?


B. Analisis Kritis Kebijakan Pupuk Bersubsidi Yang Sudah Ada Sebelumnya

Kebijakan pupuk bersubsidi ini bertujuan untuk meringankan beban petani dalam penyedian dan pengunaan pupuk untuk kegiatan usuha taninya. Sehingga dapat meningkatkan produktifitas  dan produksi komoditas pertanian guna mendukung ketahanan pangan nasional.

Pupuk bersubsidi diperuntukkan untuk sektor pertanian yang berkaitan dengan budidaya tanaman pangan, sasarannya adalah petani, pekebun dan peternak.

Pada Periode 1970-1993, sistem subsidi yang diberlakukan adalah subsidi harga, sumber pembiayaan berasal dari APBN, pupuk yang disubsidi adalah harga pupuk yang berasal impor dan produksi dalam negeri.

Periode 1999-2001; sejak 1998 subsidi harga pupuk dicabut karena dipicu oleh terjadinya krisis ekonomi saat itu,  sistem subsidi pada kurun ini adalah subsidi harga bahan baku untuk pembuatan pupuk yakni subsidi gas.

Pada Periode 2003-2005, sistem subsidi berlaku merupakan kombinasi subsidi gas dan subsidi harga, subsidi gas untuk pupuk Urea, sementara subsidi harga  untuk pupuk non urea.

Periode 2006-sekarang, subsidi yang berlaku adalah subsidi harga, yang dihitung dengan formula, selisih antara HET dengan HPP dan biaya produksi dikalikan volume produksi yang merupakan angka subsidi yang ditanggung oleh pemerintah, sember subsidi adalah APBN.

Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya ditataniagakan dengan Harga Eceran Tertinggi ( HET ) yang ditetapkan di penyalur resmi di Lini IV (Pengecer

Resmi sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/MDAG/ PER/2/2009 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Berubsidi untuk sektor Pertanian) :
[1] Jenis- jenis pupuk yang disubsidi pemerintah terdiri dari pupuk Urea, ZA, SP-36, NPK dan pupuk organik yang diadakan produsen Pupuk yang ditunjuk, yaitu: PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Pupuk Petrokimia Gresik.

Penulis melihat bahwa, kebijakan pupuk bersubsidi tidak terlepas dari  proses kebijakan publik mulai dari formulasi kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan dan terakhir evaluasi kebijakan.

Penulis lebih fokus dalam  tulisan policy paper ini adalah  lebih kepada proses evaluasi kebijakan pupuk bersubsidi di Indonesia, melihat untung dan ruginya ketika kebijakan pupuk bersubsidi di implementasikan, evaluasi kebijakan sebelumnya disertai dengan beberapa kelemahan kebijakan tersebut diterapkan kemudian di evaluasi kebijakannya, tentu juga harus disertai dengan usulan perbaikan atau semacam rekomendasi terhadap kebijakan pupuk bersubsidi selama ini.

Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena yang sering kali terulang hampir setiap tahun. Fenomena ini dapat kita lihat melonjatnya harga pupuk di tingkat petani yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Padahal  produksi pupuk urea berdasarkan hitungan diatas kertas berdasarkan produksi pupuk urea berdasarkan 5 pabrik BUMN selalu diatas kebutuhan domestik.

Artinya adalah tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk ekspor.

Namun fakta atau realitas di lapangan jauh berbeda sekali, bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak  harga diatas HET.

Meskipun ketentuan pelaksanaan program pupuk bersubsidi telah diatur mekanismenya, namun masih terdapat banyak permasalahan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) di sepuluh daerah menyatakan terdapat banyak permasalahan pada aspek pendataan, pengangaran, penyaluran/distribusi, dan pengawasan dari pelaksanaan program pupuk bersubsidi periode 2009-2011.

Pada aspek pendataan ditemukan data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang tidak valid, di mana terdapat pengelembungan (mark up) luas lahan dengan jumlah petani.

Pada aspek pengangaran misalnya, ditemukan audit yang mengoreksi jumlah perhitungan subsidi karena dihitungnya jumlah volume pupuk delivery order (DO) yang belum disalurkan.

Selain itu juga karena ada biaya-biaya yang tidak termasuk komponen-komponen produksi dalam perhitungan  Harga Pokok Penjualan (HPP) menjadi dasar perhitungan nilai subsidi pupuk.

Pada aspek penyaluran juga ditemukan indikasi penjualan pupuk dengan harga diatas HET, penjualan pupuk kepada petani yang tidak terdaftar dalam RDKK, tidak dipasangnya spanduk pengumuman harga, penyaluran pupuk yang tidak sesuai dengan DO, keterlambatan distribusi, kelangkaan, pengantian kemasan, penimbunan, penjualan di luar wilayah distribusi, dan terdapat pengecer yang tidak resmi.

Sedangkan terkait dengan aspek pengawasan, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KPPP) di tingkat propinsi maupun kabupaten tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Mereka dinilai tidak memahami sepenuhnya tugas dan fungsinya, tidak membuat laporan pengawasan, serta kurangnya dana untuk melakukan pengawasan.

Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah cenderung kurang dari pada yang dibutuhkan. Hal ini dapat dipahami karena alasan keterbatasan kemampuan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Selain itu perlunya evaluasi produsen sebagai distributor pupuk bersubsidi. Sehingga perlu ketegasan pemerintah untuk mengenakan sangsi kepada produsen jika terbukti gagal melaksanakan kewajiban untuk mencukupi ketersediaan pupuk di kios pengecer sesuai HET dengan mencabut haknya untuk memperoleh subsidi gas dan pemutusan izin ekspor pupuk.

Memadukan kebijakan subsidi gas dan pengenaan pajak ekspor  sehingga harga pupuk bagi petani lebih murah, sedangkan pabrik pupuk tidak dirugikan karena nilai subsidi gas diatur sama dengan nilai pajak ekspor dan hal yang terpenting lagi bahwa perlu kesadaran petani dalam pemakaian pupuk yang tepat dalam pemakaiannya sesuai rekomendasi.

Sebagai alternatif kebijakan subsidi pupuk lainnya adalah pemberian subsidi BBM untuk transportasi distribusi pupuk sebagai pengganti dihapuskannya subsidi langsung pada gas dan bahan baku pupuk.

PT PUSRI menjadi perusahaan yang memonopoli industri pupuk di Indonesia karena diperkuat dengan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah. Kapasitas produksi dan juga sistem distribusi dan pengadaan pupuk yang luas membuat PT PUSRI menjadi induk dari BUMN produsen pupuk lainnya di Indonesia.

Dari PT PUSRI, pupuk disalurkan ke Lini II dan Lini III. Dari Lini III, pupuk disalurkan ke Lini IV atau swasta, kemudian ke kios besar, kios kecil dan akhirnya disalurkan ke petani.

Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang bersifat terbuka dan pasif tersebut menyebabkan petani berpeluang besar tidak mendapatkan jumlah pupuk bersubsidi sesuai dengan yang dibutuhkan. Dengan perkataan lain sistem distribusi tersebut seringkali menyebabkan terjadinya langka pasok. Terjadinya langka pasok berarti sejumlah azas dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, seperti tepat jumlah, jenis, mutu, waktu dan tempat, akan dilanggar.

Bertitik tolak dari fakta diatas muncul wacana untuk mengubah sistem distribusi pupuk bersubsidi dari bersifat terbuka dan pasif menjadi bersifat tertutup dan aktif.

Yang dimaksud bersifat aktif adalah bahwa ada kewajiban secara eksplisit bagi pengecer resmi untuk menyalurkan/menjual habis pupuk bersubsidi yang sudah diterima dari distributor kepada petani dalam kurun waktu tertentu.

Yang dimaksud bersifat tertutup adalah bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi paling tidak terdiri dari delivery system (sistem distribusi dari produsen sampai pengecer (lini IV) dan receiving system (system penerimaan oleh petani).

Kedua segmen tersebut harus menyatu agar aliran pupuk dari produsen kepada petani tidak bocor terutama dari pengecer (lini IV) ke petani.

Apabila dikaitkan dengan fenomena yang terjadi sekarang (terjadinya langka pasok dan lonjat harga), maka dapat dikatakan program kebijakan pupuk yang amat konferehensif di bangun pemerintah tidak berjalan sesuai dengan harapan dan berjalan sebagaimana mestinya.

Ada dugaan peningkatan peningkatan ekspor pupuk elegal baik melalui produsen pupuk sendiri maupun penyelundup, seiring dengan peningkatan margin antara harga pupuk urea di Pasar dunia dengan harga pasar domestik.

Lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea yang diekspor secara elegal tersebut adalah pupuk bersubsidi hak petani yang merupakan kelompok masyarakat miskin.

Ekspor pupuk bersubsidi  banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan milik pribadi yang tidak terlepas dari aktor pengusaha yang bermain.

Masih terdapatnya kelemahan dalam kebijakan pemerintah tentang pemberian pupuk bersubsidi yang malah merugikan petani, PATTIRO bekerja sama dengan USAID melakukan riset kebijakan melalui studi referensi dan survei lapangan di sepuluh daerah, termasuk kota Serang. Riset dilakukan sejak Januari 2010 dan berakhir pada pertengahan tahun 2012.

Menurut temuan tim PATTIRO yang di lapangan, sedikitnya ada 6 persoalan yang menjadi penghambat pada hasil pertanian yang maksimal. Keenam tersebut diantaranya adalah;
1. petani membeli pupuk bersubsidi dengan harga diatas ketentuan HET (Harga Eceran Tertinggi) berkisar mulai 200-500 rupiah,
2. terdapat kelompok tani (poktan) yang sebagian anggotanya bukan petani,
3. sejumlah pengecer menjual bebas pupuk bersubsidi kepada petani yang bukan menjadi tanggung jawabnya,
4. terdapat distributor yang menyalurkan pupuk bersubsidi ke wilayah berbeda,
5. penyaluran pupuk yang kadang mengalami keterlambatan hingga 1 minggu lamanya,
6. juga tidak ada unit khusus yang menangani pengaduan masyarakat.

Dengan temuan-temuan inilah, akhirnya kami menduga bahwa fungsi pengawasan oleh pemerintah yang masih lemah dan panjangnya rantai distribusi dari pupuk itu sendiri.

Temuan tersebut berasal dari beberapa kecamatan di kota Serang yang menjadi fokus riset dan sebagai wilayah pertanian yang potensial di Serang sekaligus sentra produksi tanaman pangan.

Memang sering muncul dalam realisasi penyebaran atau pendistribusian pupuk bersubsidi yang dicanangkan pemerintah, apalagi dilapangan banyak terjadi penyelewengan yang bersifat sosial di masyarakat sehingga berdampak pada tidak meratanya sasaran konsumen dari pupuk bersubsidi tersebut.

C. Analisis Pendataan RDKK dan Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Secara jelas dalam Permendag Nomor: 07/M-DAG/PER/2/2009 tentang perubahan Permendag Nomor: 21/M-DAG/PER/6/2008.

Permendag perubahan telah mengatur secara jelas definisi RDKK (Pasal 1 Ayat (6) perubahan), kewajiban pengecer untuk menyalurkan pupuk brsubsidi berdasarkan RDKK.

Dalam pelaksanaan regulasi diatas, menurut penulis justru yang terjadi saat pendataan RDKK, dimana dinas pertanian setempat yang menerima dan menetapkan RDKK tidak melakukan pengecekan kevalidan data RDKK.

Artinya menurut saya ini adalah bentuk persoalan lemahnya respon dari dinas pertanian, dan lemahnya kesadaran dari kelompok tani untuk mendata RDKK sesuai dengan ketentuan.

Terkait dengan tingkat penyaluran pupuk bersubsidi ditingkat distributor dan pengecer yang masih terdapat persoalan regulasi.

Dalam Pasal 3 ayat (6) dan (7) bahwa produsen bertangung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sesuai dengan prinsip enam tepat mulai dari Lini I sampai Lini IV.

Jadi kalau ini benar-benar diimplementasikan menurut penulis tidak akan ada lagi persoalan keterlambatan penyaluran pupuk bersubsidi jika masing-masing pihak menjalankan kewajiban secara tepat dan sesuai aturan.

Kelangkaan pupuk yang disebabkan keterlambatan penyaluran maupun penimbunan, regulasi yang sama telah mengatur ketentuan di Pasal 13 ayat (1), yang menyatakan bahwa produsen wajib menjamin persedian minimal pupuk bersubsidi di Lini III.

Jadi sebenarnya menurut saya sudah banyak regulasi untuk mengatur agar pupuk tidak terlambat penyaluran dan dan harga yang tidak naik, aturannya sudah  sudah ada namun itu tidak ditegakkan dan diimplementasikan.
Disqus Comments
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini