Penataan Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa (UU No. 6/2014) merupakan proses-proses pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan penetapan Desa. Meskipun secara substansi hal ini pernah diatur dalam UU yang mengatur tentang desa yang berlaku sebelumnya, namun penggunaan istilah “penataan” baru muncul pada UU Desa ini.
UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menyatakan bahwa ketentuan tentang pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada bagian khusus yang mengatur tentang desa juga mencantumkan ketentuan tentang pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. Menurut UU No. 22/1999 ini, ketiga hal tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Demikian juga pada UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tentang pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa. UU No. 32/2004 ini menambahkan pengaturan tentang perubahan status kelurahan menjadi desa, sehingga substansi tentang penataan desa bukan hal yang baru diatur dalam tata hukum kita.
Dalam Undang-Undang Desa, jika dibandingkan dengan UU sebelumnya, penataan Desa dirumuskan dalam klausul yang lebih rinci. Pemerintah, sebagai pengusul rancangan UU Desa ini menyatakan bahwa perubahan mendasar yang diatur dalam regulasi ini adalah persyaratan dan mekanisme pembentukan desa yang diperketat. Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam rapat kerja dengan Pansus RUU Desa pada tanggal 4 April 2012. Lebih lanjut Menteri menyatakan, pengetatan ini dilakukan untuk mengantisipasi pemekaran desa yang semakin hari semakin tidak terkontrol.
Penataan Desa dalam UU Desa ini dicantumkan pada Bab III. Dari 11 pasal yang ada, penataan Desa dapat diuraikan menjadi beberapa sub tema yang terdiri dari: 1) Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa; 2) Evaluasi sebagai Basis Penataan Desa; 3) Tujuan Penataan Desa; 4) Ruang Lingkup Penataan Desa; 5) Prasyarat dalam Penataan Desa; dan 6) Mekanisme Penataan Desa.
Daftar Isi :
1. Pemerintah Sebagai Subyek Penataan Desa
Jika memperhatikan pasal-pasal yang mengatur tentang mekanisme penataan desa dalam UU ini (pasal 14-17), terlihat jelas bahwa penataan desa menjadi kewenangan Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Pasal 14 pada intinya menyatakan bahwa :
- Penataan desa ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota. Sebelum disahkan, Rancangan Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur, dimana mekanisme evaluasinya diatur dalam Pasal 15 dan 16.
- Setelah lolos evaluasi, Gubernur harus memberikan nomor registrasi dan Pemerintah Pusat melalui Menteri yang menangani Desa memberikan kode Desa. Setelah itu Perda dapat diundangkan. Pemerintah Pusat juga dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional (pasal 13).
Pasal 7 ayat (1) ini merupakan penegasan terhadap peran pemerintah sebagai pelaksana atau subyek penataan Desa sebagaimana diuraikan di atas. Mengacu pada pasal ini dan pasal 13-17, penataan Desa hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.
Pasal 7 |
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas. |
Pembahasan di DPR
Klausul ini tidak terdapat dalam RUU yang diusulkan Pemerintah. RUU Pemerintah pada bagian Penataan Desa langsung dibuka dengan klausul tentang tujuan, yang berbunyi: “Untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa dilakukan penataan desa”. Fraksi-fraksi di DPR juga tidak mengusulkan rumusan ini dalam DIM. Dalam rapat-rapat kerja antara Pemerintah dan Pansus, pembahasan klausul ini juga tidak mengemuka.
Rumusan ini diketahui muncul pada draf RUU yang telah dibahas sampai dengan rapat Timus tanggal 3 Oktober 2013, namun demikian tidak ditemukan catatan yang menunjukkan adanya argumentasi yang mendasari munculnya ketentuan tersebut.
Tanggapan
Pemerintah memang memiliki otoritas untuk melakukan penataan desa. Namun demikian, karena dalam klausul ini digunakan kata “dapat” maka otoritas tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi bersyarat. Ketentuan tentang persyaratan penataan desa diuraikan pada Pasal 8-12.
2. Evaluasi Penataan Desa
Pasal 7 ayat 2 UU Desa secara tersirat menyatakan bahwa proses penataan Desa didasarkan pada hasil evaluasi terhadap tingkat perkembangan Pemerintahan Desa. Evaluasi atau proses penilaian sebagaimana dimaksud didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Evaluasi dilakukan terhadap perkembangan pemerintah Desa dalam mencapai tujuan desa, hasil yang diperoleh digunakan sebagai input dalam melakukan penataan desa.
Pengaturan tentang evaluasi perkembangan pemerintah desa ini merupakan hal baru jika dibandingkan dengan UU yang pernah ada sebelumnya. Bahkan dalam UU No. 23/2014 pada bagian yang mengatur tentang Penataan Daerah juga tidak mencantumkan pasal khusus tentang evaluasi dalam proses penataan daerah, terlebih evaluasi bagi perkembangan pemerintahan desa. Keberadaan pasal ini menjadi bagian pekerjaan rutin pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam mendorong pemerintah desa sesuai yang diharapkan oleh UU ini.
Pasal 7 |
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Penjelasan |
Cukup jelas. |
Pembahasan di DPR
Rancangan UU yang disusun oleh Pemerintah tidak mencantumkan klausul ini. Rumusan ini juga tidak disampaikan fraksi-fraksi di DPR dalam DIM-nya. Rumusan ini muncul pada draf RUU yang dibahas hingga rapat Timus 5 September 2013, meskipun tidak ada catatan argumentasi yang mendasari klausul tersebut.
Tanggapan
Klausul ini tidak secara spesifik menyebutkan siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi. Namun demikian, dalam rumusannya, klausul ini masih mengacu pada Pasal 7 ayat (1), dimana pada pasal dan ayat tersebut menyebutkan tentang pelaku penataan desa yaitu pemerintah. Dengan demikian, semestinya evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ini dilakukan oleh pemerintah sebagai pelaksana penataan desa.Jika prakarsa penataan desa berasal dari pemerintah kabupaten/kota, maka evaluasi dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Namun jika prakarsa muncul dari pemerintah pusat, maka evaluasi dilakukan oleh pemerintah pusat.
Norma dalam klausul ini menyatakan, evaluasi didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu evaluasi yang dilakukan semestinya benar-benar mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik itu terkait tata cara atau prosedur, maupun penetapan parameter dan indikator-indikator penilaian. Ketentuan ini diharapkan dapat menghasilkan evaluasi yang objektif.
Sebagai sebuah norma yang telah ditetapkan dalam UU, dokumen hasil evaluasi semestinya menjadi bagian yang tidak terpisah dengan dokumen yang sah terkait dengan penataan desa. Pemerintah kabupaten/kota yang memprakarsai penataan desa hendaknya melampirkan dokumen evaluasi tersebut pada rancangan Perda yang dirumuskan. Sebagai bentuk akuntabilitas, dokumen hasil evaluasi tersebut hendaknya dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.
3. Tujuan Penataan Desa
Tujuan penataan desa masih menjadi bagian dari pasal 7, pasal pembuka pada bagian Penataan Desa. Norma ini menjadi arah dalam proses penataan desa, sehingga dalam pelaksanaannya nanti, penataan desa semestinya diorientasikan untuk mencapai hal-hal sebagaimana dicantumkan dalam rumusan ini. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota perlu memperhatikan tujuan dari penataan desa sehingga kebutuhan akan mewujudkan pasal 7 ayat 3 ini menjadi jelas dalam pelaksanaannya. Searah dengan itu, tujuan penataan desa ini menjadi penting pegangan dalam memaksimalkan fungsi-fungsi pemerintahan desa.
Pembahasan di DPR Tujuan penataan desa secara spesifik disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri pada rapat kerja dengan Pansus DPR 4 April 2012, dimana disebutkan bahwa penataan desa bertujuan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan dan meningkatkan daya saing Desa. Pada RUU Pemerintah, tujuan penataan desa ditempatkan pada bagian awal Bab. RUU Pemerintah menempatkannya pada dua ayat, dimana dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 7 |
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa; c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan e. meningkatkan daya saing Desa. |
Penjelasan |
Cukup jelas. |
- Untuk mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah desa dilakukan penataan desa.
- Penataan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
- mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat;
- mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
- meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan desa;
- meningkatkan daya saing desa.
4. Ruang Lingkup Penataan
Pada bagian pendahuluan diatas telah disinggung sedikit tentang ruang lingkup penataan desa. Secara lebih lengkap tentang, ruang lingkup penataan desa sebagaimana dimaksud dalam UU Desa dicantumkan pada Pasal 7 ayat (4). Uraian tentang maksud, prasyarat dan mekanisme tiap-tiap lingkup penataan desa diuraikan pada pasal-pasal selanjutnya.
Pasal 7 |
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pembentukan; b. penghapusan; c. penggabungan; d. perubahan status; dan e. penetapan Desa. |
Penjelasan |
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa. Huruf e Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. |
Pembahasan di DPR
Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dalam rapat kerja dengan Pansus DPR pada 4 April 2012 secara tersirat menyatakan bahwa penataan desa merupakan proses pembentukan, pemekaran dan perubahan status kelurahan menjadi desa.
Dalam RUU Desa yang diusulkan, Pemerintah menyampaikan bahwa ruang lingkup penataan desa meliputi: a) pembentukan desa; b) penghapusan desa; c) penggabungan desa; d) perubahan status desa; dan e) penyesuaian kelurahan.
Terhadap rumusan Pemerintah tersebut, Fraksi PPP sebagaimana tercantum dalam DIM berpendapat bahwa penataan desa harus dibagi menjadi Desa dan Desa Adat. Atas dasar ini, maka Fraksi PPP mengusulkan rumusan baru pada tiap poin penataan. Setelah poin ‘pembentukan desa’, ada poin baru yaitu ‘pengukuhan desa adat’, setelah poin ‘penggabungan desa’ ada poin lagi tentang ‘pengukuhan desa adat’, dan setelah poin ‘perubahan status desa’, ada poin baru lagi yaitu ‘perubahan status desa adat’.
Fraksi PDIP mengusulkan penambahan klausul baru yaitu “Klasifikasi Desa”. Selanjutnya usulan FPDIP tersebut dirumuskan dalam rumusan sebagai berikut:
(1) Dalam rangka penataan desa, desa diklasifikasikan menjadi:
- desa adat;
- desa otonom;
- desa administratif.
(2) Pengklasifikasian desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Fraksi PDIP berpendapat bahwa rumusan tersebut merujuk pada Pasal 18B UUD 1945, yaitu, pertama, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.Kedua, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jadi pada intinya, beberapa fraksi tersebut mengusulkan untuk memasukkan klausul tentang penataan terhadap desa adat.
Fraksi PKB mengusulkan ketentuan tentang “penyesuaian kelurahan” dihapus karena pemerintah tidak menguraikan mekanisme dan kriteria persyaratannya.
Melalui rapat Timus sampai pada 5 September 2013, rumusan tentang ruang lingkup penataan desa disepakati menjadi:
- a) pembentukan;
- b) penghapusan;
- c) penggabungan; dan
- d) perubahan status.
Dari kesepakatan Timus tersebut, rumusan kemudian disempurnakan dengan menambahkan satu poin tentang “penetapan desa” (poin e).
Rumusan pemerintah terkait dengan ruang lingkup penataan desa hanya terfokus pada Desa. Sementara pada UU yang disahkan, penataan desa juga menyinggung tentang Desa Adat. Pada UU yang disahkan, dua poin terakhir yaitu poin d dan pon e menyinggung tentang Desa Adat. Disebutkan dalam penjelasan poin d, bahwa yang dimaksud perubahan status, selain perubahan Desa menjadi kelurahan atau sebaliknya, juga menyangkut perubahan Desa Adat menjadi desa. Pada penjelasan poin e tentang “penetapan Desa” dinyatakan, “Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Namun demikian, ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan kedua poin tersebut tidak dicantumkan pada bagian ini, tetapi dijabarkan dalam Bab XIII UU Desa yaitu tentang Ketentuan Desa Adat.
Tanggapan
Ciri khusus yang membedakan ruang lingkup penataan desa pada UU Desa dan UU sebelumnya (UU No. 5/1979/, UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004) adalah adanya poin baru tentang penataan desa adat (poin d dan poin e). Pengaturan tentang desa adat dalam bagian penataan ini mengisyaratkan bahwa UU ini konsisten untuk mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang selama ini ada.
5. Prasyarat Penataan Desa
Sebagaimana telah disinggung di atas, penataan desa bukanlah hal yang mutlak. Penataan desa merupakan proses yang bersifat opsional, yang dapat dilakukan dengan memperhatikan prasyarat tertentu.
Uraian tentang persyaratan penataan desa pada bagian ini akan disampaikan per poin. Namun demikian, poin-poin dalam uraian ini sedikit berbeda dengan poin-poin yang tercantum dalam ruang lingkup penataan desa sebagaimana dinyatakan pada pasal 7 ayat (4). Mengacu pada pasal-pasal yang mengatur tentang persyaratan penataan desa (Pasal 8-12), poin-poin yang akan diuraikan meliputi: a) pembentukan Desa; b) Pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis; c) penghapusan Desa; dan d) penggabungan Desa; dan e) perubahan status. Perubahan status dalam poin ini terbatas pada perubahan status Desa menjadi kelurahan atau sebaliknya. Sedangkan perubahan status Desa Adat menjadi Desa tidak diatur dalam bagian ini. Pada bagian ini juga tidak ada rincian pasal tentang penetapan Desa sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 4 poin e.
Dari kelima poin yang disebutkan di atas, porsi uraian pasal yang mengatur tentang pembentukan Desa lebih besar jika dibandingkan dengan poin-poin lainnya.