TINJAUAN KRITIS TENTANG KEWENANGAN DESA

Tujuan pengaturan kewenangan desa yang berdasarkan pada asas rekognisi dan asas subsidaritas adalah untuk pencapaian kemandirian desa agar masyarakat desa menjadi subyek pembangunan. Selain itu diharapkan Desa bisa berperan dalam perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteran masyarakat.
Undang-Undang Desa adalah hasil dari evaluasi terhadap implementasi atas UU No. 32/2004 yang belum memberikan kejelasan tentang kewenangan Desa. Dalam Naskah Akademik RUU Desa (Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, 2007) dinyatakan bahwa dalam mengatur tentang Desa, UU No. 32/2004 mengandung ambivalensi. Di satu sisi, ia mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal usul. Di sisi lain, ia memposisikan Desa sebagai subsistem dari pemerintah kabupaten/kota, karena konsepsi dasar yang dianut UU ini menempatkan otonomi hanya berhenti di kabupaten/kota. Kewenangan yang dimiliki oleh Desa menurut UU No. 32/2004 adalah kewenangan kabupaten/kota yang dilimpahkan kepada Desa.
Pencantuman klausul khusus tentang Kewenangan Desa pada UU Desa ini seakan ingin memberikan kejelasan terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Desa. Jika dicermati, keberadaan klausul khusus ini juga masih menyisakan ambivalensi. Hal ini terlihat jelas pada Pasal 19 huruf (c) dan (d), dimana kewenangan Desa merupakan limpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Daerah, meskipun Desa juga diberikan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa (huruf (a) dan (b). Dalam bagian ini tampak pula bahwa ternyata kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa bukan hanya kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang dimiliki oleh Desa, namun juga pelaksanaan kewenangan berdasarkan pada penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang ditugaskan kepada Desa (lihat pasal 22). Selain dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan yang bersifat penugasan lainnya adalah dalam hal pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Terhadap kewenangan-kewenangan ini, Desa tidak memiliki hak untuk mengatur (membuat regulasi), tetapi hanya mengurus, sebagaimana dinyatakan pada bagian terdahulu. Selain dalam UU Desa, pelimpahan kewenangan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada Desa juga dimandatkan dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
  • Potensi Tarik-Menarik Kewenangan
Ada perdebatan pemberian kewenangan pada Desa antara kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan berdasarkan lokal berskala desa dan kewenangan berdasarkan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dengan ketentuan peraturan perundang –undangan. Artinya, Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) pada satu sisi bertugas untuk menjalankan kewenangan desa, sedangkan pada sisi lain bertugas menjalankan penugasan dari pemerintah kabupaten/kota. Konstruksi ini berpotensi menjadi unsur yang memperkuat Desa dan sekaligus sebagai unsur yang memperlemah Desa. Hal ini bisa memunculkan dominasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota pada penentuan skala prioritas pembangunan Desa. Misalnya Desa lebih banyak melaksanakan urusan yang ditugaskan dari pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dibandingkan kewajiban pemerintah Desa dalam mengakomodasi kebutuhan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa dan hal ini bisa jadi menghambat pertumbuhan kemandirian Desa.
  • Kewenangan Asal-usul dan Kewenangan Lokal Skala Desa
Kewenangan Desa berdasarkan asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa bukanlah kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah, bukan juga sisa (residu) yang dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 tentang Desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis kewenangan itu diakui dan ditetapkan langsung oleh UU Desa. Namun demikian mekanisme penetapan kewenangan desa tidak diatur secara rinci. Pasal 20 UU Desa menyebutkan pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
  • Peran Pemerintah Desa dalam Menjalankan Kewenangan
Berkaitan dengan kewenangan ini, Bhenyamin Hoessein (disertasi 1993), menjelaskan bahwa pengaturan dapat diartikan sebagai kewenangan "...untuk menciptakan norma hukum tertulis yang berlaku umum dan mengenai hal yang abstrak"; sementara pengurusan sebagai kewenangan "...untuk melaksanakan dan menerapkan norma hukum umum dan abstrak kepada situasi konkrit". Dengan kata lain, pengaturan berkaitan dengan kewenangan membentuk kebijakan (rules making), sementara pengurusan dengan kewenangan melaksanakannya (rules application).
Mengikuti pengertian di atas, maka pemerintahan yang memiliki sekaligus kewenangan pengaturan dan pengurusan (sendiri) dapat dipandang sebagai pemerintahan otonom (Bhenyamin: 2001). Kedua istilah tersebut secara bersama-sama merupakan padanan Bahasa Indonesia untuk istilah Bahasa Inggris ‘self-governance’.
Berkaitan dengan kewenangan pemerintah, Barton (2000) menyebutkan bahwa dalam ekonomi pasar yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat, yaitu: keadilan sosial (social equity) dan kegagalan pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan kebijakan publiknya adalah melakukan koreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi, yakni:
  • Peran alokasi sumber daya. Hal ini mencakup soal penentuan ukuran absolut dan relatif pemerintah dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik dan sektor swasta) dan penyediaan barang-barang publik serta pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
  • Peran regulator. Hal ini mencakup undang-undang dan tata tertib yang dibutuhkan masyarakat termasuk undang-undang yang mengatur dunia bisnis yang memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis dan hak-hak kepemilikan pribadi.
  • Peran kesejahteraan sosial, yang mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerataan sosial di negara yang bersangkutan seperti perpajakan, jaminan sosial dan penyediaan sejumlah barang publik campuran bagi masyarakat
Pasal 78 UU Desa mengatur bahwa pembangunan desa bertujuan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan. Lebih lanjut pencapaian tujuan tersebut diselenggarakan melalui: (a) pemenuhan kebutuhan dasar, (b) pembangunan sarana dan prasarana desa, (c) pengembangan potensi ekonomi lokal, serta (d) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
  • Kewenangan Desa dalam Subyek Pembangunan
Berdasarkan pandangan teoritis tentang pemerintahan (Barton, 2000), kewenangan normatif, tujuan dan cara mencapai tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Desa diturunkan dalam enam peran atau fungsi derivatif pemerintahan desa, yakni:
  • Mengelola pelayanan dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa untuk mengelola pelayanan dasar yang berada di dalam lingkup kewenangannya, seperti ketersediaan layanan pendidikan anak usia dini, bantuan transportasi ke sekolah, dan sistem desa siaga.
  • Mengelola pelayanan administrasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola pelayanan administrasi, baik administrasi kependudukan maupun beberapa administrasi perizinan yang berada dalam kewenangannya.
  • Menyediakan infrastruktur dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola penyediaan infrastruktur dasar desa, seperti air bersih, irigasi tersier, jalan desa, listrik desa, polindes, sarana pendidikan anak usia dini, kantor desa, dan sarana olah raga.
  • Memperkuat kelembagaan ekonomi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti mendorong keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dalam pengelolaan infrastruktur dasar dan penguasaan sumber daya alam lokal, dan penguatan daya tawar kolektif.
  • Memperkuat kelembagaan sosial. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti memperkuat organisasi sosial seperti posyandu, lembaga amil zakat, penanganan bencana, dan resolusi konflik.
  • Membuat regulasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan desa dalam mengelola proses pembuatan regulasi sebagai salah satu bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya merevitalisasi aturan-aturan yang bersumber dari adat istiadat.
Disqus Comments
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini