![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnTa4SCVNUk-Hh736vjmYaE2kX5Jgz28ldY1fwL5Brla8HORHvGEtP9W6adk4oyDkDyiknD9mb2ykIltm9Nh3fjVx2QhF2kvl9ODCSdZg1AM-X8Gj-dxB7UWkpDAgCJ3nGpa0HcvVWpzEv/s1600/FB_IMG_1474525200562.jpg)
Manusia Jawa semenjak purwakala memang tidak mengenal tata cara penyembahan kepada Tuhan. Pemujaan berikut peranti yang kadang dipergunakan oleh mereka dalam sebuah upacara tertentu malahan banyak diperuntukkan bagi para Bathara dan leluhur, suatu eksistensi yang keberadaannya masih bisa dijangkau oleh manusia, setidaknya oleh dimensi bathin. Tuhan bagi orang Jawa adalah eksistensi yang tak terjangkau, tak bisa diperbincangkan dan tak bisa diwujudkan walaupun perwujudan itu sekedar hadir dalam benak dan pemikiran belaka. Tuhan melampaui segala penggambaran, segala penginderaan dan segala daya cipta (baca : imaginasi) manusia. Namun demikian bukan berarti Tuhan tercerabut jauh dari kehidupan manusia. Keberadaan Tuhan oleh manusia Jawa dipandang ada menyatu dengan semesta raya, bahkan menyatu dengan manusia itu sendiri, adoh datanpa wangênan, cêdhak datanpa senggolan (jauh tiada berbatas, dekat tiada bersentuhan).Tuhan adalah sesuatu yang tan kêna kinayangapa (Tiada bisa diserupakan dengan apapun juga), dan orang Jawa kerap kali menegaskan keberadaan-Nya dengan empat kalimat lugas : kang ana iku dudu (yang ada itu bukan – segala yang mengada itu bukan Tuhan), bahkan yang mengada dalam pikiran sekalipun.
Berangkat dari pemahaman demikian, orang Jawa memandang segala persembahan kepada Tuhan itu sia-sia. Segala usaha manusia untuk melakukan penyembahan kepada-Nya itu tiada guna. Dia tak terjangkau oleh apapun, oleh segala daya upaya manusia yang terbatas ini. Jangankan oleh indera lahiriah, oleh pemikiran paling rumit, atau oleh getaran terhalus dalam bathin, Dia tetap tak akan bisa tersentuh. Apapun ritual penyembahan manusia kepada Tuhan adalah serupa dengan menulis aksara diatas air dengan jari-jemari, semuanya sia-sia, percuma, tiada guna. Sedangkan Tuhan sendiri tidak butuh untuk disembah. Tuhan yang dahaga untuk diakui sebagai Tuhan dan lantas meminta-minta untuk disembah, jelas-jelas bukan Tuhan. Tuhan semacam itu adalah Tuhan yang masih kekurangan, setidaknya kekurangan pengakuan. Tidak akan ada sesuatupun yang bakal berkurang dari Tuhan walaupun seluruh semesta tidak melakukan penyembahan kepada-Nya. Dia sudah sempurna semenjak mula dan akan tetap sempurna untuk selamanya, tanpa ada yang bisa mengurangi kesempurnaan-Nya.
Alih-alih mencari-cari cara untuk melakukan ritual penyembahan yang tidak bisa menjangkau keberadaan Tuhan, manusia Jawa lantas lebih memilih untuk bergerak nyata dengan hamêmayu hayuning bawana (menjaga keselamatan dunia). Manusia Jawa lebih memilih untuk berlaku baik kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali. Mereka cenderung untuk lebih menata pikiran, perkataan dan perbuatan demi untuk kesejahteraan dunia. Manusia Jawa meyakini, Tuhan ada menyatu pada seluruh makhluk, dan dengan menjaga keselamatan dan menebarkan kasih kepada seluruh makhluk adalah merupakan persembahan tertinggi kepada Tuhan bila dibandingkan dengan melakukan ritus persembahyangan tertentu namun pada kenyataannya malah berlaku aniaya, bahkan tega menumpahkan darah sesama manusia. Manusia Jawa menyembah Tuhan dengan ritual melayani sesama, tidak dengan ritual lain, dan itulah spiritualitas yang sesungguhnya.
Pangkur.
Mangkono ngelmu kang nyata,
Saknyatane karya têntrêming ati,
Sirna kang watak kumingsun,
Gawe sugênging sasama,
Hamêmayu rahayuning jagad agung,
Linambaran sih lan trêsna,
Trêsna sagunging dumadi.
(Begitulah spiritualitas yang nyata,
Sesungguhnya mampu membuat tentramnya hati,
Sirna watak keakuan,
Menciptakan kehidupan bagi sesama,
Ikut menjaga keselamatan alam semesta,
Dilambari dengan kasih dan cinta,
Cinta kepada seluruh makhluk tanpa kecuali.)
23/09/2016
Damar Shashangka.