PETANI TERTINDAS ? SUDAH BIASA !!!

“Makannya dihabiskan nok, jangan buat pak tani dan bu tani menangis. Karena mereka juga pahlawan kita, kita tidak akan bisa makan kalau tidak ada mereka. Setiap pagi mereka berangkat ke sawah, bermandikan lumpur, berbekalkan cangkul, dan bertemankan terik matahari demi sesuap nasi yang kau makan.”
Begitulah nasehat mama ketika aku masih berusia 5 tahun. Pahlawan bukan hanya mereka yang berperang merebut kemerdekaan, namun yang lebih penting dari sekadar perang ada buruh dan petani. Karena dari kerja keras merekalah, proses produksi dan kehidupan masih berlangsung. Namun, ketika mama berpesan untuk menghabiskan makanan, nasi dan sayur mayur agar petani tidak menangis, sekarang aku melihat air mata hingga darah bercucuran dari raga petani.
Beberapa bulan lalu, ketika rakyat diberi cobaan berupa panggung politik demokrasi palsu: pemilu borjuis. Lagi-lagi rakyat harus mengalami duka, ketika petani Rembang berjuang mempertahankan lahannya yang direbut oleh PT.Semen Indonesia. Juga di karawang, rakyat harus berdarah berhadapan dengan ribuan militer untuk mempertahankan tanahnya. Rembang dan Karawang yang saat ini masih bergejolak merupakan segelintir dari masalah agraria di negeri ini.
Melihat persoalan dari dua kasus tersebut, persoalan tani saat ini juga tak lepas dari persoalan warisan masa lampau. Masalah masa lampau antara lain: tanah berpetak-petak di beberapa tempat di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, alat kerja yang tradisional, sistem pertanian yang tradisional, manajemen yang buruk. Problem masa lampau ini berakibat pada rendahnya industrialisasi pertanian hingga saat ini.
Dan saat ini, liberalisasi perdagangan sebagai salah satu masalah yang berimbas pada pertanian juga, yang merupakan turunan dari kesepakatan bersama dalam Agrement On Agriculture dalam World Trade Organization (WTO), dan membuat kebijakan impor pangan terjadi secara besar-besaran. Akibatnya produk pertanian hancur. Sehingga mengakibatkan masalah selanjutnya, semakin rendahnya produksi pertanian dalam negeri, baik karena dianggap tidak menguntungkan. Tidak sedikit di antara kaum tani yang berimigrasi dari pedesaan ke perkotaan untuk menjadi buruh. Ataupun juga, disebabkan oleh perampasan tanah yang masif dilakukan oleh kapitalis perkebunan dan kapitalis pertambangan. Dan juga, banyaknya lahan tani dirubah menjadi pabrik sebagai sumber perdagangan bebas dan menciptakan peralihan tani ke buruh.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa problematika yang ada saat ini tak bisa lepas dari sejarahnya. Mulai dari zaman komunal dimana alat-alat produksi masih menjadi milik bersama, hingga sekarang di zaman penjajahan imperialisme, alat produksi menjadi milik pemodal.
Sejarah Pertanian Nusantara
Zaman Feodalisme
Sudah banyak diceritakan, bahwa pada masa ini adalah masa dimana alat produksi dikuasai oleh kaum pemilik tanah, raja, dan para kerabatnya. Feodal, yang berarti kerajaan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, dan seluruh tata nilainya. Karena itu, raja merupakan pusat ketatanegaraan dan kedudukannya hampir bersifat ketuhanan.
Raja disini, membagi-bagikan tanah menjadi petak-petak kepada sikep-sikep dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep). Serta ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk upeti maupun pajak. Dan bagi rakyat biasa, mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll, yang kemudian disetor kepada raja. Tidak hanya itu, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.
Jadi sangat jelas, masa feodal ini dimana penguasaan sumber agraria dan surplus produksi pertanian kepada raja ini telah menjadi tonggak awal terjadinya pemusatan dan penguasaan sumber agraria terutama tanah ke tangan penguasa. Pola seperti ini menjelaskan bahwa sistem feodal di Nusantara lebih mirip sebagai masyarakat penyakap (menggarap tanah atas dasar bagi hasil).
Ada hal yang berbeda di masyarakat feodal Eropa. Jika di Indonesia tanah dikuasai raja dengan membagikan tanah kepada kerabatnya. Di Eropa tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan tanah) dan tersentral. Mereka mempekerjakan orang yang tidak bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada baron. Dan hasil pertanian akan dijual ke tempat-tempat lain oleh pedagang-pedagang yang juga dipekerjakan oleh para baron.
Zaman Kolonialisme
Di era kolonial ini dikenal sebagi era penjajahan yang paling berdampak hingga kini, karena di sinilah kapitalisme mulai masuk. Dimulai dari negara-negara yang menganut paham merkantilisme (monopoli perdagangan) di Eropa. Dan kemajuan-kemajuan penting pengelolaan tanah oleh masyarakat Nusantara, menghasilkan kelebihan produksi rempah-rempah yang dapat diperdagangkan, menciptakan kerajaan-kerajaan pesisir, pembukaan kota-kota bandar dan menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan yang besar. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penganut merkantilis untuk menjajah Nusantara ini, dengan semboyannya Gold, Gospel, dan Glory. Masuknya kapitalisme menjadi lawan bagi feodal dalam memusuhi dan melumpuhkan rakyat. Jadi, pada saat itu negara kuat seperti Spanyol, Portugal, Prancis, Inggris, dan Belanda menggantungkan ekonominya ke negara-negara berkembang seperti Amerika Latin, Karibia, Afrika, dan Asia.
Ekspedisi Kolonialisme dan Imperialisme di tanah Nusantara, dimulai pada tahun 1469 dipimpin oleh raja muda Portugis Vasco da Gama. Tujuannya adalah mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian disusul penjelajah dari Spanyol pada tahun 1512. Dan tahun 1596 penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.
Belanda masuk melalui jalur merkantilis bersenjata, yang diorganisasikan dalam bentuk perserikatan dagang VOC tahun 1602. Dikatakan merkantilis bersenjata, karena pedagang bersenjata ini melakukan perdagana dengan para feodal yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (sejarah pelayaran Hongi).
Namun, terhapusnya kepemilikan tanah raja tidak serta merta feodalisme hilang begitu saja, justru dimanfaatkan oleh kalangan kolonial-kapitalis ini. Rakyat menjadi objek penindasan dan penghisapan dari ke dua belah pihak.
Selanjutnya pada 1800 VOC bubar dan pemerintahan diganti dengan Gubernur Herman William D. Pemerintahan ini bertujuan mempertahankan daerah jajahan khususnya Jawa dari serangan Inggris, dan memperbaiki sistem administrasi yang dapat menjamin kepentingan penjajah. Salah satu kejahatannya adalah menjual tanah Negara kepada partikelir (pengusaha perkebunan).
Pemerintahan William berlangsung 11 tahun, kemudian tahun 1811 pemerintahan ganti dengan pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Kebijakan diganti menjadi semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government (hak milik pemerintah). Semua tanah rakyat dirampas atau beralih menjadi milik raja Inggris. Karena itu, pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah).
1830, pemerintah Belanda kembali hadir dan membangun sebuah sistem ekonomi politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia, dengan dipimpin Gubernur Johanes van den Bosch. Sistem ekonominya adalah sistem tanam paksa. Pemodal asing masuk dan menjarah sumber daya bangsa. Sistem tanam paksa merupakan tonggak peralihan merkantilis ke sistem ekonomi produksi.
Hindia Belanda (Indonesia) dengan penerapan STP diperas untuk menghasilkan barang-barang ekspor seperti kopi, teh, gula, tembakau, kayu manis dan kapas melaui perusahaan semi pemerintah Nedrland Handel-Maatschappij (NHM), hasil dari merampok Bumi Indonesia diperlelangan di Amsterdam Belanda. Kebutuhan tanah yang sangat luas dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar sebagai syarat terselengaranya STP, Van De Boch menentukan setiap desa dalam setahun harus menyerahkan seperlima luas sawahnya untuk ditanami-tanaman wajib ekspor pemerintah, sehingga penduduk desa yang memiliki sawah akan kehilangan sawahnya, sekian bulan dalam setahun, ini membuat kebanyakan desa harus menyerahkan lebih dari seperlima sawahnya dan bahkan bisa keseluruhan sawahnya, untuk memenuhi ambisi Belanda yaitu membangun pabrik-pabrik gula baru, Belanda pun mampu membangun lebih dari 100 pabrik gula dan setiap pabrik memerlukan 300 – 400 hektar tanah untuk ditanami tebu. Bagi penduduk desa yang tidak memiliki sawah Van de Bosch menerapkan kerja wajib selama 66 hari di perkebunan milik pemerintah serta dijanjikan akan diberikan upah tanah. Tetapi menutut L de Jong, pada tahun 1845 penduduk pedesaan di Jawa yang melakukan wajib kerja tidak sama sekali menerima upah dengan alasan upah sudah diperhitungkan dengan pembebasan sewa tanah.
Dari hasil sistem tanam paksa yang diterapkan di Indonesia, dalam catatan Imam Soedjono. NHM perusahaan semi pemerintah ini mendapatkan keutungan besar setiap tahun, dia membagikan deviden rata-rata 9 persen sampai akhir tahun 1870 uang yang masuk ke peti uang Belanda yang disebut batig slot (hasil yang menguntungkan) berjumlah ƒ 725 juta yang merupakan seperlima dari pendapatan Negara, namun hasil keuntungan tersebut tidak sama sekali dikembalikan ke Hindia Belanda (Indonesia), digunakan untuk kepentingannya sendiri, menurut L D Jong, dengan keuntungan ini, Belanda melunasi sebagian hutang Negara, memberikan subsidi kepada pabrik tenun twente, membangun perkeretaapian Negara, membuat bangunan pertahanan, memperbaiki pelabuhan Amsterdam dan Rotterdam dan juga digunakan untuk menata kembali pelayaran Belanda.
Zaman Kemerdekaan / Orde Lama dan Lahirnya UUPA
Terlalu jengah dengan pemerintahan Hindia Belanda, membuat terjadi semangat luat biasa untuk menggeser kebijakan pemerintah tersebut. Politik agraria yang mengutamakan kesejahteraan rakyat yang akan dibangun, kebijakan agraria yang dalam kerangka spirit memberikan akses yang luas pada penggunaan, pemilikan, dan penguasaan, dan inilah yang menjadi semangat awal kemerdekaan.
Salah satu kebijakannya diawalai dengan menyusun hukum agraria nasional untuk mengatur penguasaan, pemilikan, dan penggunaan sumber agraria yang salah satu bentuknya adalah tanah. Program tersebut kemudian dijalankan melalui program Landreform sebagai langkah awalnya. Dan adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai upaya penyusunan hukum agraria nasional dan memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus.
Penyusunan dasar-dasar hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 sampai 1960 dimulai dari pembentukan panitia, Panitia Agaraia Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Soewadjo (1995), Panitia Urusan Agraria (1956), Rancangan Soenardjo (1958), Rancangan Sadjarwo (1960) dan akhirnya digodok dan diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang dipimpin oleh H. Zaenul Arifin dan tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA disetujui oleh DPR GR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
Dalam Pidato Pengantar Mr. Sadjarwo (Menteri Agraria) dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960, mengatakan : Perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.
Maka, tanggal 24 September sebagai momentum hari tani yang ditandai dengan lahirnya UUPA dan jika kita juga mengacu terhadap sejarah, sudah sangat jelas bahwa: merupakan sebuah gerakan konsitusional dan kemenangan rakyat dalam merebut kembali hak tanahnya baik dari cengkraman kolonilisme feodal maupun pemodal internasional.
Setelah UU ini ditetapkan, dimulailah serangkaian pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia, yang meliputi larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan pemilikan tanah yang disebut tanah “absentee” (kepemilikan tanah di luar dua kecamatan terdekat), retribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah yang kena larangan absentee, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, serta larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil.
Namun, persoalan tanah memang persolan rumit, apalagi setelah lama mengalami penjajahan dan kini harus memulai kembali sistem tanah yang sehat. Sehingga, UUPA ini bisa dikatakan mengalami kegagalan. Dari 26 juta hektar luas tanaman pangan yang ada, hanya berhasil diretribusi sebanyak 3% dengan rata-rata luas tanah 0,66 hektar kepada 11% Kepala keluarga yang tidak bertanah (Syaiful Bahri, 2004).
Selain itu, pada saat program landreform dicanangkan, masyarakat pedesaan hususnya Jawa sedang dilanda gejolak politik. Program landreform yang semula ditujukan untuk menciptakan keadilan sosial berubah menjadi perebutan dan mempertahankan kekuasaan politik. Artinya, ada konflik antara golongan tuan tanah yang memiliki tanah luas dengan golongan yang tidak memiliki atau menguasai tanah.
Zaman Orde Baru
Setelah kemerdekaan terbentuk UUPA, ketika Orde Baru UUPA ini seperti masuk dalam peti es. Maksudnya pembicaraan umum tentang landreform khususnya kebijakan yang menyangkut atas tanah menjadi tabu dan beresiko tinggi, namun Orde Baru tidak serta merta mencabutnya, malah melahirkan berbagai undang-undang sektoral di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, penanaman modal asing yang bertentangan dengan UUPA.
Ada “revolusi hijau” yang dipromosikan oleh badan-badan pembangunan dunia yang tergabung dalam IGGI, World Bank, dan IMF, yang mendorong Indonesia untuk menempuh jalan perubahan dengan mengintregasikan dalam kapitalisme dunia. Politk agraria periode ini menganut paham pembangunan ekonomi kapitalistik, yaitu membuka ruang seluas-luasnya kepada investasi/pemodal swasta baik asing maupun domestik. Dan untuk mendukung pemodal besar dapat berinvestasi dan dapat perlindungan secara hukum, maka Orde Baru mengeluarkan undang-undang penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri (UU PMA dan PMDN).
Dan sejak saat itulah terjadi ekspansi besar-besaran, pembangunan kawasan industri, pembangunan kota satelit maupun pembangunan mega proyek lainnya yang dibiayai melalui dana pinjaman. Dan konflik agraria muncul dengan berbagai macam bentuk, mulai dari penggusuran yang sewenang-wenang, masalah ganti rugi, masalah izin lokasi, masalah pemaksaan tanaman pangan, pelecehan hak-hak adat dan sebagainya. Inilah yang berimbas sampai sekarang, penguasaan lahan yang semakin sempit bagi petani dan penggusuran terjadi di setiap lini Bumi Nusantara.
Zaman Reformasi
Akibat liberalisasi ekonomi yang semakin intensif, membuat kaum tani Indonesia pada era ini didera kemiskinan yang akut, selain permasalahan ketimpangan struktur agraria. Pendapatan petani terus menurun, padahal biaya hidup semakin melonjak tinggi dan biaya produksi pun semakin membengkak. Pasar dalam negeri dibanjiri produk impor, sehingga produk petani dalam negeri pun terjatuhkan.
Melalui Agreement On Agriculture (AOA), IMF, dan Bank Dunia serta kesepakatan perdagangan bilateral yang agresif untuk mendorong liberalisasi perdagangan yang menguntungkan Negara maju seperti AS, Australia, dll, namun membuat Indonesia kelaparan. Selain itu, di era ini muncul berbagai UU yang mendorong kebebasan untuk menguasai sumber-sumber kehidupan rakyat. Seperti UU Sumber Daya Air, RUU Pengadaan tanah, UU Kelistrikan, UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan, dll. Ini membuat rakyat tersingkirkan dari sumber-sumber hidupnya seperti perampasan tanah dari petani. Seiring ditetapkannya UU tersebut, membuat muncul konflik-konflik pertanahan di berbagai daerah.
Yang terbaru adalah Indonesia merupakan anggota G-20 dan merupakan perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Pada Forum Ekonomi Dunia tentang Asia Timur di bulan Juni 2011, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu dari sepuluh perekonomian terbesar dalam dekade mendatang. Indonesia telah melandaskan pembangunan ekonominya pada eksploitasi atas sumber daya alamnya yang melimpah, termasuk minyak mentah, timah, gas alam, nikel, kayu gelondongan, biji aluminium, tembaga, tanah subur, batu bara, emas, perak, perikanan.
Dan di tahun 2011 juga, pemerintah Indonesia meluncurkan Master Plan untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI), Rencana ekonomi dengan cakupan nasional ini, yang bertujuan memenuhi kualifikasi sebagai negara maju di tahun 2025, menyandarkan 60%-nya pada sumber daya alam untuk mengangkat perekonomian dan menarik minat investasi skala besar. Strategi pemerintah mencakup fasilitasi terhadap investasi pada industri pengolahan agar dapat menghasilkan nilai tambah tinggi (misalnya, dalam sektor minyak sawit dan coklat).
Kriminal Agraria Ada di Setiap Lini Bumi Nusantara
Beberapa waktu terahir ini, banyak sering dijumpai berita-berita penggusuran lahan petani. Di tahun 2012 ada penggusuran lahan petani Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah yang dilakukan oleh PT. Mitra Niaga Cemerlang (MNC) dengan luas wilayah konsesi 984,79 hektar yang terdiri dari enam desa. Di lahan tersebut akan ada penambangan pasir besi yang dilakukan oleh PT tersebut.
Di Yogyakarta, ada petani Kulon Progo yang mengalami penggusuran lahan. Melalui legalitas menteri energy dan sumber daya mineral (ESDM), para investor asing mudah memasuki ranah-ranah yang vital seperti halnya terkait dengan penambangan. Seperti yang telah dilansir di beberapa media online: Investor Australia mendesak Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera menerbitkan lisensi studi kelayakan proyek besi baja terintegrasi senilai Rp 9 triliun-Rp 10 triliun. Proyek yang berlokasi di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Jogjakarta itu merupakan hasil patungan Indo Mines Ltd asal Australia dengan PT Jogja Magasa Mining asal Indonesia. Porsi saham masing-masing perusahaan, yaitu 70% dan 30%.”. Begitu lisensi itu diterbitkan, mereka langsung pembangunan fisik pada akhir November 2011,” ungkap perwakilan Provinsi Yogyakarta Mudrajad Kuncoro, usai rapat koordinasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Ledakan kasus agraria memang begitu besar, hingga tahun 2012 lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, ada 8000-an kasus sengketa tanah di Indonesia yang belum terselesaikan. Sementara KPA mencatat ada 1700-an kasus konflik agraria yang belum terselesaikan. Artinya, tanpa menghitung potensi konflik baru yang juga akan muncul, kedepan Indonesia berpotensi mengalami ledakan konflik agraria.
Mengacu ke catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam lima tahun terakhir, yakni dari 2009 hingga 2013, konflik agraria meningkat tiga kali lipat. Untuk tahun 2013 saja, jumlah konflik agraria di Indonesia mencapai 369 kasus, yang melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dampak yang ditimbulkannya juga tidak main-main. Pada tahun 2013 lalu, ada 21 orang petani yang tewas akibat konflik agraria. Belum lagi, ada 30 orang yang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan, dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan.
Dalam pantauan WALHI, KPA, KONTRAS, AGRA, PIL-NET, SPKS, dan IHCS dalam bulan Juni 2014 saja ada beberapa kasus kriminal agraria yang menimpa masyarakat. Antara lain penggusuran paksa, penangkapan terhadap 8 orang dan kekerasan terhadap warga karawang yang bersengketa dengan PT. Agung Podomoro Land mengakibatkan 11 warga terluka (Jawa Barat); kriminalisasi 6 orang masyarakat adat tungkal ulu, Kabupaten Musi Banyu Asin di taman suaka marga satwa Danku (Sumatera Selatan); Kriminalisasi dan penembakan yang mengakibatkan 1 orang meninggal buntut berlarutnya kasus sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak tahun 2003 (Kalimantan Tengah); 5 orang warga Kelurahan Sukodadi, Kecamatan Sukarami mengalami luka tembak saat terjadi bentrok dengan pasukan TNI AU karena sengketa tanah antara warga dengan TNI AU. Penembakan dilakukan dengan modus latihan rutin; penangkapan terhadap lima warga desa Batu Daya yang berkonflik dengan perusahaan sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa di Kalimantan Barat; kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa rencana pembangunan pabrik semen (PT. Semen Indonesia) di Rembang (Jawa Tengah); pembabatan lahan masyarakat oleh PT. PN II Malang Sari, Jember; dan lainnya.
Apa yang harus dilakukan?
Pasal 3 ayat 2 dan 3 dalam Undang-undang Dasar 1945 yang pernah dijadikan landasan pemberlakuan UUPA, menegaskan: “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” dan “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam kedua ayat ini dijelaskan bahwa seluruh kekayaan sumber daya alam Indonesia harus mensejahterakan rakyat, bukan untuk dibawa keluar negeri oleh pemilik saham terbesar.
Ayat 2 juga menyatakan bahwa semua potensi sumber daya alam yang mampu menjadi penopang hidup masyarakat Indonesia harus dikuasai oleh Negara, di bawah kontrol Negara, dimiliki oleh Negara dan harus mensejahterakan rakyat. Namun kondisi Negara saat ini tidak menerapkan hal yang sesuai dengan pasal 33 ayat 2 dan 3, melainkan menerapkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Undang-undang ini membuka pintu masuk bagi para investor asing yang ingin menginvestasikan modalnya di Indonesia. Sehingga dengan saham dan modal yang besar, siapapun berhak mengklaim kekayaan Indonesia adalah miliknya sebesar sahamnya. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi Negara miskin ditengah-tengah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Selama ini pemerintah Indonesia tidak mampu merealisasi nasionalisasi sumber daya alam dan terus-menerus menyerahkankan kepada investor asing dengan dalih bahwa sumber daya manusia Indonesia masih belum mampu mengelola kekayaan alamnya, serta keterbatasan dana yang dimiliki oleh Negara. Jika kita mencoba untuk melihat lebih jauh, alasan-alasan tersebut tidak dapat menjadi syarat kegagalan kita mengolah kakayaan alam kita. Manusia Indonesia saat ini sudah banyak berprestasi baik ditingkat nasional maupun internasional, menjadi staf ahli di perusahaan-perusahaan besar luar negeri, bahkan menjadi staf ahli free port. Keterbatasan dana dapat dijawab dengan pajak Negara yang besar jika tidak dikorupsi oleh para pejabat yang tidak bertanggung jawab.
Syarat utama bagi sebuah Negara untuk dapat merealisasi nasionalisasi SDA adalah adanya kamauan politik dari pimpinan nasional (presiden/DPR) dan juga kemauan politik massa rakyat secara nasional, seperti yang terjadi di Bolivia, Venezuela, Kuba, dan Argentina yang baru-baru ini menasionalisasi perusahaan minyak terbesar milik Spanyol.
Beberapa hal kongkrit yang dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia jika kekayaan alamnya diolah dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, diantaranya adalah pendidikan gratis berkualitas, merata, dan setara bagi seluruh rakyat. Karena hasil pengelolaan kekayaan alam akan diserahkan kepada pemerintah dan didistribusikan untuk sekolah-sekolah. Sama seperti Venezuela, pendidikan gratis dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi. Sehingga tidak ada lagi pendidikan bagi segelintir kalangan. Dan dengan begitu juga tidak ada lagi rakyat yang menderita karena menjadi buruh yang mendapat upah tak layak dari si bos.
Selain itu, bisa juga menikmati kesehatan gratis berkualitas, setara dan merata untuk seluruh rakyat. Hasil pengolahan SDA digunakan untuk keseluruhan unit kesehatan, seperti peningkatan fasilitas, pelayanan, biaya operasional, dll. Juga pembangunan yang merata di daerah-daerah. Pembangunan di Kalimantan, Sulawasi terlebih Papua dapat dilaksanakan dengan maksimal. Karena anggaran pembangunan Negara menjadi lebih besar dengan adanya dukungan dari perusahaan nasional pengelola sumber daya alam. Perbanyak fasilitas transportasi, perbaikan administrasi Negara, perbaikan tata kota dan masih banyak lagi yang dapat kita lakukan untuk membawa bangsa ini menjadi lebih baik.
Semua itu dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia jika Indonesia melepaskan diri dari penghisapan neokolonialisme asing. Mencari pemimpin yang berani mengambil sikap dan keputusan untuk menasionalisasi. Namun, jika pemimpin saat ini tidak memiliki keberanian tersebut, maka massa-rakyat yang sadarlah yang harus mendorong pemerintah dan DPR untuk menjalankan keinginan rakyat. Memperjuangkan demokrasi kerakyatan, maka rakyat dapat mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang nasionalisasi Industri strategis Negara seperti minyak, tambang, emas, Gas, dan semua sumber daya alam yang kita miliki.
Hal yang pasti ketika kita mampu mengelola dan menguasai sumber daya alam kita dengan mandiri, untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Maka hutang-hutang warisan rezim Soeharto yang berkelanjutan hingga kini dapat segera dilunasi serta mental korupsi pejabat pemerintahan juga harus benar-benar ditindak tegas dan mendapat efek jera, sehingga uang rakyat dapat kembali kepada rakyat, tidak ada lagi darah petani yang bercucuran mempertahankan tanahnya.
Ya, dari penjelasan diatas maka perbaikan yang dibutuhkan pertama-tama agar petani tidak merasakan perihnya ditindas adalah menghentikan semua paket liberalisasi di sektor pertanian, mulai dari liberalisasi terhadap penguasaan sumber-sumber daya alam seperti air dan tanah, liberalisasi perdagangan produk-produk pertanian dan liberaliasi terhadap sektor-sektor industri yang mendukung pertanian seperti: industri gas dan pupuk.
Setelah itu meminta tanggung jawab Negara untuk melindungi pertanian nasional, dengan memberikan berbagai macam bentuk bantuan seperti modal usaha dengan persyaratan yang ringan dan tanpa bunga atau minimal dengan bunga yang rendah, subsidi terhadap bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan pertanian (saprotan). Membangun infrastruktur untuk mendukung pertanian nasional, meningkatkan pengetahuan, teknik dan alat-alat pertanian sehingga tercipta produktifitas dan efisiensi. Selain itu pemerintah juga harus menyelesaikan sengketa-sengketa agraria secara adil dan mengembalikan tanah milik para petani, mengusut dan mengadili para pelanggar HAM yang telah melukai dan membunuh kaum tani. Dan membebaskan kaum tani untuk membentuk organisasinya sendiri, secara mandiri. Walau kebebasan membangun organisasi sedikit terbuka di negeri ini, dengan catatan asal tidak mengganggu kebijkan Negara. Sebab jika mengganggu, maka kodok ijo (tentara) siap menaburkan timah panas, yang diarahkan bagi siapa saja yang menentang kebijakan Negara!
Melawan dan Menang
Agar seluruh tuntutan-tuntutan perbaikkan tersebut dapat dicapai secara tuntas, tidak mungkin bisa diatasi secara sektoral. Tetap membutuhkan kehendak yang kuat dari pemerintah untuk merubah seluruh tata aturan imperialis yang menindas kaum tani dan semua rakyat. Hal ini tentu saja tidak mungkin bisa dipenuhi oleh pemerintahan yang patuh terhadap imperialisme. Pemerintahan yang menolak imperialisme yang dibutuhkan untuk menguatkan perjuangan, sekaligus dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani miskin. Sementara pemerintahan borjuis nasional, sekalipun berlagak kerakyatan, tidak mungkin dapat memberikan kesejahteraan kepada mayoritas kaum tani. Karena hanya akan membawa program-program populis dan bukan jalan keluar sejati bagi rakyat.
Kaum tani hanya akan terbebaskan dari kemiskinan, jika bersama dengan kaum proletariat mengambil alih pemerintahan, dan bertindak untuk kepentingan mayoritas rakyat yang dimiskinkan oleh hubungan-hubungan produksi yang menghisap, yaitu pemerintahan buruh-tani.
Maka dari itu, butuh kekuatan massa petani dan semua elemen. Salah satu langkah kecil yang bisa dilakukan saat ini, khususnya menyongsong hari tani adalah dengan melakukan aksi massa petani dan mogok misalnya. Seperti, ada 2 pengalaman yang pernah dilakukan kaum tani ketika melawan dan bisa dijadikan bahan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum tani pada saat melakukan gerakan. Pertama, pengalaman aksi pendudukan bandara Polonia yang dilakukan oleh Komite Tani Menggugat di Medan Sumatera Utara. Kedua, pengalaman pemblokiran tol oleh Serikat Petani Karawang (SEPETAK). Kedua aksi tersebut memberikan kerugian bagi kapitalis. Semakin banyak komponen yang melakukan aksi, memblokir jalan, menduduki terminal, menduduki bandara pada hari yang sama. Tidak hanya membuat rejim kelimpungan. Namun juga mengurangi represifitas dari antek-antek kapitalis.
Dan perjuangan akan semakin dekat jika persatuan petani bergabung dengan kekuatan buruh. Bersama kaum buruh membentuk pemerintahan alternatif. Kaum buruh adalah kawan aliansi kaum tani yang paling strategis, hal ini dikarenakan, dua sektor inilah yang paling menderita atas penindasan kapitalisme. Banyangkan saja, apabila bersama melakukan aksi mogok nasional. Apabila satu hari saja buruh tidak ke pabrik, petani tidak pergi ke ladang, maka ada kemacetan produksi dari kapitalis.
Rakyat Perlu Tahu; Jokowi Pernah Berjanji Akan Menyelesaikan Kasus Agraria
Sedikit kabar untuk rakyat khususnya petani, bahwa ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden. Joko Widodo (Jokowi) bertandang ke kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Senin (12/5/2014), Ia berjanji akan menyelesaikan berbagai konflik agraria di Indonesia.
Sama seperti kasus HAM, dalam kasus Agraria ini Capres PDI Perjuangan itu menyetujui tawaran Walhi untuk membentuk Komisi Ad-hoc untuk penyelesaian konflik agraria. Hanya saja, dari sejumlah pemberitaan media, tidak dirinci seperti apa wujud Panitia Ad-hoc tersebut. Isu konflik agraria tidak bisa dianggap enteng.
Masa kampanye memang yang keluar dari mulut capres adalah yang manis-manis. Sama seperti SBY ketika awal Kabinet Indonesia Bersatu I juga pernah berjanji akan menyelesaikan kasus agraria. Namun hingga kabinet yang ke dua pun tidak terlaksanakan janji-janji tersebut. Agar tidak ada lagi janji manis dari presiden, perlu adanya kekuatan rakyat untuk menuntut janji yang pernah diberikan Jokowi.
Ya, meski tidak terlalu menyelesaikan permasalahan. Setidaknya ada sedikit ruang kebahagiaan bagi petani dan korban kejahatan HAM apabila pengadilan Ad-hoc ini dibuka. Dan rakyat kini dengan presiden barunya perlu mengingatkan dan menuntut presiden terpilih untuk melaksanakan janjinya. Agar tidak ada lagi kemanusiaan yang diremehkan.
Disqus Comments
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini