Sejarah Santri dan Kyai~

Sejarah Santri dan Kyai~

Yudhie Haryono

Siapakah investor terbesar di Nusantara dlm revolusi melawan kolonial? Siapakah peletak dasar rasa nasionalisme negara Indonesia? Bukan etnis China, apalagi suku Arab dan kerumunan Tentara. Bukan mamarika apalagi begundal-begundal lokal. Tetapi kaum muslim. Mereka Kyai dan Santri. Bahwa mrk kalah sehingga dinistakan, itulah kenyataan yg tak bisa dibantah.

Jika mamarika dan china kini menjajah serakah, tentu krn kelakuan tentara dan begundal lokal. Mereka membela yg bayar. Menyembah kursi dan dollar dengan menjadi centeng2nya. Itu juga yg membuat kyai dan santri di NU&Muhammadiyah memilih jalan lain agar bisa mengisi periuknya. Pasca revolusi Jawa (kyai Diponegoro) dan revolusi Sumatra (kyai Bonjol), revolusi Banten (kyai Abdul Karim), praktis hanya SDI dan SI yg menginspirasi revolusi nasionalnya para pemuda (Soekarno, dkk).

Revolusi Banten tumbuh sejak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh begundal Willems Daendels. Tercatat ada tiga kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang terjadi di Banten. Pertama, tahun 1850 dipimpin oleh kyai Wakhia. Kedua, tahun 1888 yang dilakukan oleh sebagian besar para petani di bawah komando kyai Abdul Karim dan kyai Tubagus Ismail. Ketiga, tahun 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang Banten dipimpin kyai Adarhi.

Semua pemberontakan ini lebih merupakan pertanda keinginan untuk bebas dari cengkraman kolonialisme. Krn itu Banten disebut kota Revolusi Purba. Kota yg melahirkan kenistaan dan kesadaran, kata sastrawan Max Havelar. Banten juga disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan nusantara.

Pemberontakan terbesarnya terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Santri-Petani Banten. Revolusi ini dipimpin langsung oleh kyai Abdul Karim, ulama besar dan orang suci di mata rakyat. Ia pemimpin dan guru tarekat Qadiriah. Beliau dibantu oleh kyai Tubagus Ismail, seorang bangsawan Banten yg merakyat. Ia juga ulama yg jaringannya melampai batas2 keagamaan.

Karena kalah, kini revolusi berbasis agama (Islam) tinggal kenangan. Kesadaran postkolonialisme dlm tradisi islam hanya cungkringisme dan auratisme. Bahasannya hanya jilbab dan poligami. Mereka memelihara mimpi kedatangan ratu adil. Mereka mengidolakan pahlawan2 dari luar dirinya. Mereka menyembah teks dan kurma. Nista sekali.

Kekalahan memang menjijikan. Revolusi fisik nasionalis dilupakan. Revolusi kejumudan diagamakan. Kyai2 media dipuja dan dibayar mahal hanya untuk melawak dan membodohi kita. Kyai2 NU&Muhammadiyah sibuk korupsi via politik recehan.

Kini, ummat muslim lupa bhw setiap revolusi, bukanlah sebuah “kejadian” dan "pemberian" melainkan sebuah “proses perang." Yaitu sebuah proses dinamis dan dialektis: proses menjebol (penjajahan) dan membangun (paska kemerdekaan).

Tentu, proses itu memerlukan waktu panjang: puluhan tahun, seratusan tahun. Soekarno sebagai presiden mencontohkan: revolusi Perancis berjalan 80 tahun, revolusi Rusia memerlukan waktu 40 tahun, dan revolusi Tiongkok juga memerlukan puluhan tahun.

Revolusi itu melalui fase-fase atau tahapan. Soekarno mengibaratkannya dengan tahap perkembangan manusia: anak-anak, dewasa, dan masa-tua. Dalam setiap perkembangan itu terdapat perbedaan kuantitatif dan kualitatif.

Demikian juga dengan perkembangan masyarakat. Bagi Soekarno, sebuah masyarakat komunal—yang didalamnya berlaku “sama rasa sama rata”– tidak bisa meloncat langsung ke sosialisme. Bukan dikejar dengan sujud, berdoa dan ziarah plus menciumi atau menghapalkan teks2 kuno.

Betapa tersesatnya kita kini. Kolonialisme lokal yg bersekutu dengan neoliberalisme hanya disaksikan, ditangisi dan disetubuhi dengan riang gembira. Entah sampai kpn kejahiliyahan ini melanda.(*)
Disqus Comments
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini