Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Indonesia

Zaman Hindia Belanda Hingga Awal Kemerdekaan

Jejak pengaturan tentang Desa dapat ditelusuri jauh sebelum Indonesia merdeka. Kumpulan masyarakat yang terikat pada adat tertentu hidup di Desa-Desa atau nama lain sesuai dengan karakteristik setempat. Dalam hubungan organisasi pemerintahan Hindia Belanda, Desa diakui sebagai suatu kesatuan hukum yang berdasar pada adat. Hakim-hakim Desa diakui secara resmi pada tahun 1935.[1]

Sejarah perjalanan tata Pemerintahan Desa selama ini berubah-ubah seiring dengan dinamika kondisi dan situasi politik nasional.[2] Perubahan itu sejalan dengan politik hukum nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan.

Ketika Indonesia merdeka, Pemerintahan Desa mempunyai landasan konstitusional. Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Penjelasan UUD 1945 menyatakan lebih lanjut konsep pembagian daerah itu. “Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenshappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun, dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.

Pengertian dari zelfbesturende landschappen adalah daerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan pemerintah Belanda melalui perjanjian politik (verklaring). Sedangkan volksgemeenschappen tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Penjelasan UUD 1945. Hanya diberikan contoh Desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang.

Meskipun keduanya diperlakukan sama, menurut Yando (2000: 52), ada perbedaan mendasar keduanya. Tidak ada landschappen (swapraja) yang berada dalam wilayah volksgemeenschappen. Secara hierarkis, kedudukan Zelfbesturende landschappen berada di atas Volksgemeenschappen.

Sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Dalam pemberian wewenang itu, menurut F. Sugeng Istanto (1971: 28), pembuat undang-undang menganut paham bahwa untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan daerah yang sebaik-baiknya pemerintah daerah harus diberi otonomi yang seluas-luasnya.[3] Paham itu dituangkan dalam beberapa undang-undang yang lahir pasca kemerdekaan.

Kedudukan Desa telah diatur sejak awal kemerdekaan melalui UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang mengakui kewenangan otonom Desa misalnya pada pemungutan pajak kendaraan dan rooiver gooningen[4]. Pada waktu itu ada kekhawatiran yang dipelopori oleh Soepomo bahwa struktur pemerintahan yang baru akan menghilangkan keberadaan struktur Pemerintahan Desa yang masih hidup, sehingga perlu diberi perlindungan dan waktu untuk mempelajari (menginventarisasi) lagi keberadaan masyarakat Desa (adat). Kemudian tiga tahun sesudahnya dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai daerah otonom, yang dibagi ke dalam kelompok Daerah Otonom Biasa dan Daerah Otonom Istimewa[5]. Diatur pula mengenai bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas Pemerintahan Desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.

Diwarnai dinamika hubungan pusat dan daerah seperti pemberontakan PRRI/Permesta, lahirlah sejumlah regulasi lain yang mengatur tentang Desa, antara lain UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta benda sendiri. Aturan ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah Indonesia.

Era Orde Baru

Selama periode pemerintahan Orde Baru, lahir UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada masa ini Desa kurang mendapatkan kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Melalui perangkat peraturan perundang-undangan, Desa diperlemah karena beberapa penghasilan dan hak ulayatnya diambil. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa melakukan unifikasi bentuk-bentuk dan susunan Pemerintahan Desa dengan cara melemahkan atau menghapuskan banyak unsur demokrasi lokal. HAW Widjaja menyatakan apa yang terjadi sebagai “Demokrasi tidak lebih dari sekadar impian dan slogan dalam retorika pelipur lara”.[6]

Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah memberikan “cek kosong” kepada masyarakat Desa, karena dalam UU ini Desa tidak lagi diposisikan sebagai daerah otonom. Desa adalah unit administrasi pemerintahan yang berada pada tingkatan paling bawah, yang ‘dikoordinasikan’ oleh pemerintahan kecamatan. Kepala Desa sebagai penguasa tunggal Desa adalah bawahan atau anak buah camat. Desa hanya mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Yando Zakaria menggambarkannnya sebagai upaya Orde Baru untuk meluluhlantakkan struktur masyarakat Desa yang berbasis kearifan lokal.[7]

Era Reformasi

Pada era Pemerintahan BJ Habibie lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, disusul UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang ini adalah undang-undang terakhir yang didasarkan pada Pasal 18 UUD 1945 sebelum pasal ini diamandemen.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa Desa bukan lagi sebagai wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsur pelaksana daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang berada dalam wilayah kabupaten, sehingga setiap warga Desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri sesuai kondisi sosial budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya.[8]

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU No. 22/1999, kemudian memuat aturan tentang Desa dalam satu bab khusus (Bab XI). Pada intinya menyatakan Pemerintahan Desa dibentuk dalam Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintahan Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Untuk keuangan dilahirkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang yang lahir di tahun 2004 ini sudah merujuk pada UUD 1945 hasil amandemen.

Menurut Hanif Nurcholis, di bawah UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004, status Pemerintahan Desa adalah lembaga semi formal yang diberi tugas pemerintah atasan untuk mengurus urusan pemerintahan di tingkat Desa. Desa disebut sebagai lembaga semi formal karena dibentuk negara melalui undang-undang dan mendapatkan dana dari negara. Tetapi Kepala Desa dan perangkatnya bukan official government atau civil servant sebagaimana dimaksud UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.[9]

Bhenyamin Hossein memperlihatkan adanya kerancuan pemakaian istilah pemerintah daerah dan pemerintahan daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun 2004. Kerancuan itu justru bermula dari amandemen UUD 1945. Bab VI UUD 1945 –bab yang menaungi ketentuan Pasal 18-- tetap menggunakan istilah Pemerintah Daerah. Namun dalam penerbitan oleh Setjen MPR judulnya berubah menjadi Pemerintahan Daerah. Penerbitan oleh instansi lain pun akhirnya mengikuti, padahal keduanya berbeda meskipun bertalian. Pemerintah daerah merujuk pada organ, sedangkan pemerintahan daerah merujuk pada fungsi. Istilah local government dapat merujuk pada organ atau fungsi.[10]

Perkembangan Wacana di DPR

Kritik terhadap Undang-Undang lama juga disampaikan para anggota DPR saat memberikan tanggapan atas RUU Desa. Pendapat “mini DPD” misalnya menyebutkan bahwa selama lebih dari enam dekade, Indonesia mengalami kesulitan yang serius untuk mendudukkan Desa dalam pemerintahan dan pembangunan, termasuk kesulitan membentuk otonomi Desa dengan keragamannya. Secara khusus DPD menyinggung UU No. 5 Tahun 1979 yang bertahan sekitar 34 tahun dan ‘telah berhasil menyeragamkan Desa dan pratek pemerintahan yang sangat otoriter terhadap masyarakat Desa sendiri. Undang-Undang tersebut oleh kebanyakan warga di luar Jawa dianggap sebagai bentuk Jawanisasi yang membunuh keragaman berbagai kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup di Nusantara, dan karena itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945’.

Fraksi Partai Demokrat berpendapat UU No. 32 Tahun 2004 yang meletakkan posisi Desa berada di bawah kabupaten ‘tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal usul’. Partai Demokrat berpendapat RUU Desa perlu dibahas untuk bisa menjadi payung hukum warga dan Pemerintahan Desa dalam mengelola dan memajukan Desa.

Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa ‘dalam perjalanannya UU No. 32 Tahun 2004 belum secara jelas mengatur tata kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan Desa. Selain itu, Desain kelembagaan Pemerintahan Desa yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 belum sempurna sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi, dan kesejahteraan Desa’.

Fraksi PKS secara khusus menyebut UU No. 5 Tahun 1974 dan No. 5 Tahun 1979 yang dilahirkan pemerintahan Orde Baru telah berhasil ‘menguniformisasi’ sistem Pemerintahan Desa menjadi seragam seluruh Indonesia tanpa memberi ruang sama sekali kepada sistem pemerintahan berdasar pada adat. Dengan dua Undang-Undang itu sistem Desa adat tidak berlaku.

Fraksi Partai Gerinda menyatakan bahwa semua peraturan tentang pemerintahan daerah dan Desa yang dibuat sebelumnya “belum dapat merangkum segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang kian berkembang”.

Fraksi Partai Hanura bahkan ikut mengkritik hasil amandemen. “Pada masa Orde Baru UU No. 5/1979 melakukan penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi, UUD 1945 amandemen kedua malah menghilangkan istilah Desa’. Meskipun kata Desa hilang, Fraksi Hanura tetap berpendapat amandemen konstitusi mengharuskan negara melakukan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya menganut rekognisi itu, tetapi Desa ditempatkan hanya sebagai bagian (subsistem) dari pemerintahan kabupaten/kota.

Fraksi PPP berpendapat UU No. 5 Tahun 1979 bukan merupakan bentuk apresiasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat dan Desa, tetapi telah menjadikan Desa menjadi bagian integral dari hegemoni rezim (otoritarian) dengan berbagai manifestasinya, baik melalui penyeragaman bentuk, sentralisasi maupun peniadaan partisipasi dan demokrasi.

Fraksi PKB menyatakan konsepsi dasar yang dianut UU No. 32 Tahun 2004 adalah otonomi berhenti di kabupaten/kota. Konsekuensinya, pengaturan lebih lanjut tentang Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, sehingga kewenangan Desa adalah kewenangan kota yang diserahkan kepada Desa. Lalu apa artinya rekognisi terhadap otonomi Desa berdasarkan hak asal usul dan hak tradisionalnya?
Disqus Comments
Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Blog Ini