SEJARAH KABUPATEN AMBAL DAN DINAMIKA DAERAH “URUT SEWU.
(Sebuah Fakta Sejarah Yang Terabaikan)
Oleh: Turiman Fachtuhrahman Nur
1.Sejarah Kabupaten Ambal Dalam Catatan “Fakta Sejarah” Yang Terabaikan
Saya (Penulis) bukanlah putra kelahiran asli Ambal,menulis deskripsi fakta sejarah ini adalah saya hanya sekedar urun rembug, tetapi saya tertarik dengan Kecamatan Ambal yang unik, karena biyung (ibu) saya orang asli Ambal Jayan dan jawara yang menyebrang ke Borneo (Desa Jawa Tengah Kec Sei Ambawang Kalimantan Barat), yaitu Mbah Satirah Binti Dasuki keturunan Sutawijaya, Mbah ini yang jago silat Mbah Khasan Gendon yang juga memiliki ilmu kanuragan ilmu alif atau ilmu putih dan memang keilmuan ini sulit untuk dicerna akal sehat, tetapi nyata ada satu pesan yang saya pegang hari ini ”jasad ini calon bangkai jangan dibela, yang dibela itu qalbu yaitu kebersihan qalbu” makna jangan lihat casting atau kulit luar tetapi kedalam. Beliau adalah salah satu gadis semasanya yang dibawa oleh tokoh Ambal Gondang Legi yaitu K.H. Khasan Gendon ke tanah Borneo (Kal Bar) hanya dalam waktu 10 menit dengan “kapal” yang diberikan oleh Gusti Allah SWT alias “tampak kaki”, saya adalah konsultan hukum dan salah satu pembina pencak silat perguruan, atau menurut orang desa Gondang Legi mbah Gimun dinamakan “kunto”, sedangkan di Kal Bar: namanya adalah perguruan pencak silat “Wekasan Suprih Ngudi Tunggal”. Tulisan ini awalnya bertujuan menulis riwayat hidup K.H Khasan Gendon, tetapi dalam pemetaan ada sesuatu yang menarik dari Ambal. Apalagi keluarga besar saya ada diwilayah itu, ternyata saat ini ada mimpi besar masyarakat Ambal, agar menjadi sebuah Kabupaten Ambal seperti pernah dirintis K.R.A.H. Poerbanagara. Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun 1828 – 1872.
Untuk mengapresiasi juga saya angkat di dunia maya kesenian kepang pur di youtube ”Kesenian Kuda Lumping Ambal Unik” 21 Februari 2015, yang terabaikan pembinaannya. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah Kabupaten Ambal ada dalam fakta sejarah, jika ada kapan dan bagaimana deskripsinya dan bagaimana perjuangan rakyat untuk mewujudkan harapan para leluhur agar bisa menjadi “Kabupaten Ambal”. Tulisan ini adalah catatan sebulan penulis memetakan fakta sejarah lewat literatur dan empirik wawancara dan mengamati dinamika kehidupan masyarakat Kecamatan Ambal yang agak miris, tetapi juga ada setitik harapan cerah ternyata masih ada penerus dan pejuang-pejuang yang mimpi besar agar Kabupaten Ambal terwujud, tetapi sayang belum ada sinergisitas antar kecamatan dan desa di Kabupaten Kebumen khususnya di wilayah “urut sewu” belum ada pemetaan yang komprehensif.
Dalam catatan sejarah Kabupaten Ambal tak bisa dipisahkan dengan desa Ambal Resmi. Desa Ambal Resmi adalah merupakan salah satu desa di kecamatan Ambal, Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Dahulu daerah ini merupakan sebuah kadipaten selama kurang lebih 3,5 tahun. Kesenian tradisional yang khas daerah ini antara lain Kepang Pur (sejenis tarian kuda lumping ) lihat di youtube “Kesenian Kuda Lumping Unik Ambal” dan Janeng (sejenis musik rebana).
Makanan khas yang terkenal dari daerah ini adalah Sate Ambal. Budaya lainnya adalah Enthak-Enthik (diadakan setiap bulan Maulid) dan Sabanan (diadakan setiap bulan Saban).
Hampir semua budaya di daerah ini berhubungan dengan laut, karena Ambal terletak di daerah Urut Sewu (bibir pantai samudera Hindia). Idul Fitri di Ambal di rayakan selama hampir 2 minggu. Lomba pacuan kuda diadakan setiap tahun (terutama saat Idul Fitri).
Wisata yang ada di daerah ini berupa wisata laut, pasar malam, hiburan ketoprak, dll.masih ada lagi makanan khas nya yaitu emping melinjo yang renyah dan gurih.. Selain Kapung Wetan, di Ambalresmi juga pedukuhan lain seperti Kapung Kulon, Alun-alun, Kebonan dan Manisjangan. Ada dua pemakaman besar yang cukup angker disebelah timur namanya Kranji dan di barat nama makamnya adalah Kalijo.
Orang Ambal menyebut makam adalah "stono". Sebelum JLSS (jalur lintas selatan selatan) dibuka, Ambalresmi termasuk daerah yang terisolir. Jembatan Rowo dan Lukulo dibangun menjadikan jalan Daendels menjadi ramai, apalagi setiap Lebaran menjadi tambah ramai. Terakhir jalan tersebut menjadi jalan alternatif karena Jalur Purworejo Kebumen putus karena meluapnya sungai Butuh, Prembun, Kutoarjo.
Pusat pemerintahan Ambalresmi bergeser setiap ada pergantian Kepala desa. Kapung Wetan yang letaknya di barat laut pasar Ambal menjadikan daerah paling favorit untuk dikunjungi. Konon dulu kabarnya banyak pendatang dari Mataram yang menetap di Ambalresmi, bahkan termasuk pada jamannya Diponegoro. Di salah satu bekas rumah dinas Bupati masih dijumpai peninggalan-peninggalan Mataram.
Ambalresmi juga menyimpan banyak pesona lainnya. Pantainya yang indah, gumuk pasir berjajar sepanjang pantai, menambah asrinya kawasan ini. Sate, emping melinjon dan emping budin, rempeyek undur undur pacuan kuda dan pantai menjadi sajian khas Ambalresmi.
Potensi wisata begitu dahsyatnya mustinya dikelola dengan tepat. Pantai masih cukup gersang jika ditanami cemara udang ataupun pohon lain seperti ketapang boto dll pasti akan lebih adem. jalanan yang disana-sini rusak juga perlu perbaikan serius. Namun yang paling utama Bupati bekerja bersama tokoh masyarakat harus membuat grand design pantai Ambal mau dibawa kemana. Kalau perlu rencana besar jangka panjang. 30 tahun yang akan datang. Tentu tujuan akhirnya untuk kesejahteraan bersama
Dalam catatan fakta sejarah Ambal- Kebumen dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kabupaten. Ceritanya begini: Pada masa perang Diponegoro, Ambal dan pantai pesisir selatan, yang dikenal dengan Urut Sewu, dikuasai berandalan kejam dan menakutkan bernama Puja atau Gamawijaya. Dia sangat terkenal hingga warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mendengar namanya.
Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: barang siapa yang mampu menangkap Puja akan mendapat hadiah besar. Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu.
Pada zaman perang Diponegoro itu, Semedi, putra dari selir Hamengku Buwono III, mengungsi ke Kedu. Pangkatnya naik dari ordenans menjadi kolektur di Kebumen dengan nama Raden Ngabehi Mangunprawira. Dia pemberani, dan berniat mengikuti sayembara itu. Dia kemudian berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk, Wargantaka dan putranya Andaga. Wargantaka dan Puja adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka.
Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Puja akhirnya bisa diketahui Mangunprawira. Wargantaka mendukung Mangunprawira menumpas penjahat tersebut. Puja pun terbunuh. Mangunprawira dipromosikan menjadi Bupati Ambal seumur hidup, dengan nama K.R.A.H. Poerbanagara. Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun 1828 – 1872.
2.Bagaimana Diponegoro sampai di daerah “urut sewu” atau pantai selatan Ambal?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menelusuri fakta sejarah perangDiponegoro terlebih dahulu. Perang Diponegoro dimulai pada tanggal 20 Juli 1825. Perlawanan rakyat yang gagah berani di Tegalrejo disambut oleh masyarakat luas di luar daerah tersebut.
Diponegoro Pengikut Pangeran kian hari kian banyak. Hal ini mengakibatkan Belanda semakin takut, terlebih setelah bergabungnya Kyai Maja, seorang ulama besar dari Maja (sebuah tempat di sebelah Barat Laut Surakarta). Kyai Maja kemudian menjadi penasehat Pangeran Diponegoro. Beliau wafat dalam pembuangan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 setelah sebelumnya dapat ditangkap oleh Belanda melalui muslihat liciknya.
Kyai Maja ditangkap bersama putranya yang bernama Kyai Gazali, dan seorang saudara Beliau yang bernama Embah Sepuh Baderan. Selain Kyai Maja, pasukan Pangeran Diponogoro diperkuat oleh Sentot alias Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja.
Sentot adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwana I (dari jalur Ibu). Ayah Sentot bernama Raden Rangga Prawiradirja III, tewas dalam pertempuran karena menentang Gubernur Jenderal Daendels (Belanda).
Keberanin Sentot sangat diakui Belanda. Hal ini dibuktikan dalam salah satu surat Belanda. Sentot ditangkap dengan akal licik Belanda pada tanggal 24 Oktober 1829 di Yogyakarta, lalu ia dibawa ke Jakarta dan kemudian diasingkan di Bengkulu. Sentot wafat dalam pembuangan di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855, kira-kira pukul 10 malam dalam usia kurang lebih 47 tahun.
Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya. Taktik ini membuat Belanda semakin gentar karena kemenangan besar selalu diperoleh Pangeran Diponogoro dan pasukannya. Dengan akal liciknya, Belanda kemudian berhasil menghasut Pemerintahan Kraton pada saat itu dengan menyebarkan berita bahwa Pangeran Dipanegara adalah penghianat dan pemberontak.
Beberapa Tokoh pembesar di kraton yang silau dengan iming-iming Belanda pun makin membuat sukses akal Belanda dalam mengalahkan Pangeran Diponegoro. Akhirnya karena situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya meninggalkan Mataram menuju ke arah barat.
2.1.Long March Pangeran Diponegoro dan Daerah Urut Sewu
Untuk membangkitkan semangat juang rakyat di berbagai penjuru, Pangeran Diponogoro mengadakan perjalanan dimulai dari kaki gunung Merapi sampai ke Pedalaman Banyumas. Dari Pekalongan utara, sampai ke pesisir selatan Bagelen.
2.1.1. Pos–Pos Pertahanan Pangeran Diponogoro di Medan Pertempuran Barat
Dalam melakukan pertempuran, Pangeran Diponogoro selalu berpindah-pindah dan mendirikan pos-pos pertahanan. Beliau menggunakan wilayah di Jalur Selatan sebagai petahanan utama karena di daerah itu banyak sekali kekuatan Belanda yang akan digunakan untuk membantu pasukan lain di sebelah timur. Dengan mematahkan kekuatan dari barat, kekuatan Belanda di timur (Mataram) akan mudah dikalahkan oleh pasukan yang berada di pos-pos pasukan Dipanogoro di sana.
Pertahanan Pangeran Diponegoro di medan barat antara lain di Pekeongan, Kemit, Panjer, Merden, Ambal, Ngaran (Ungaran), Telaga (Wawar; Mirit), Gunung Persada, Linggis, Cengkawak, Kalibawang dan lain-lain.
Ketika Belanda yang mengetahui adanya kekuatan pasukan Pangeran Diponogoro di daerah tersebut, segera mendirikan pula pos-pos tandingan di daerah yang sama. Belanda membangun pos pertahanan tandingan di Pekeongan, Kemit dan Panjer (selesai 16 Juli 1828), di Merden (selesai 1 Agustus 1828). Dalam musim kemarau tahun 1828 dapat dikatakan di hampir seluruh daerah pertahanan PangeranDipanogoro telah berdiri pos pertahanan tandingan milik Belanda.
Selain mendirikan pos-pos tandingan, Belanda juga menggertak rakyat dengan membakar desa-desa yang dicurigai mendukung pejuangan Pangeran Diponegoro. Di desa Wanakrama, Belanda melakukan perampasan terhadap ternak rakyat.
Daerah gerilya pasukan Pangeran Diponegoro yang sangat terkenal kuat dan aktif oleh Belanda adalah di daerah Grogol. Perlawanan di daerah ini dipimpin oleh Dipanegara Anom (putra Pangeran Diponegoro), Imam Musbah, Mas Lurah, Pangeran Sumanegara, Pangeran Dipakusuma dan lain-lain. Dikarenakan begitu kuatnya pasukan Pangeran Dipanegoro di Grogol, akhirnya atas perintah Jenderal De Kock, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Van Gazen yang berada di pertahanan Bantulkarang dan pasukan pimpinan Letnan Kolonel Le Bron De Vexela yang berada di Kembangarum digerakkan menuju Grogol membantu Letnan Kolonel Ledel beserta pasukannya yang sebelumnya telah berada di daerah tersebut.
Belanda juga menggunakan pembesar-pembesar yang dianggap berpengaruh di daerah tersebut untuk membantu menyerang kekuatan Dipanegoro dan menghasut rakyatnya. Pembesar – pembesar tersebut antara lain Tumenggung Sindunegara (kemudian menjadi Bupati Roma) dan Tumenggung Arungbinang (Bupati Kebumen).
Pada tanggal 7 November 1828 Perlawanan rakyat di daerah Kemukus berkobar hebat. Sepasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Mess mencoba menggempur pasukan Dipanegoro di bawah pimpinan Tumenggung Mertanegara. Pasukan Kapten Mess dikepung oleh Pasukan Tumenggung Mertanegara. Kapten Mess beserta pasukan Belanda yang berhasil lolos dari kepungan di desa Kemukus tersebut berlarian menuju Banyumas. Kedudukan Belanda di Banyumas pun terancam. Pada pertempuran tersebut Pangeran Dipanegara berkedudukan di Karangduwur.
2.1.2 Periode Perundingan
Pada tanggal 31 Oktober 1828 diadakanlah perundingan antara pihak Pangeran Diponegoro yang diwakili oleh Kyai Maja dengan pihak Belanda di Mlangi. Perundingan tersebut gagal dan dilanjutkan perundingan yang kedua pada tanggal 5 November 1828 dimana pihak Belanda diwakili oleh Letnan Roeps, Letnan Kolonel Wiranegara, ulama-ulama dan patih-patih dari Yogyakarta dan Surakarta.
Perundingan dilakukan di daerah Pengasih. Perundingan ini pun gagal karena Kyai Maja tidak mendapat kekuasaan yang penuh dari Pangeran Dipanegoro. Dalam perundingan inilah, Kyai Maja ditangkap oleh Belanda. Ikut tertangkap pula kyai Tuku Maja, Kyai Baderan, Kyai Kasan Besari (kakak Kyai Maja), Pati Urawan, Tumenggung Pajang dan lain-lain. Belanda juga berhasil melucuti 50 laras senapan dan kurang lebih 300 pucuk tombak dari pasukan Kyai Maja yang ikut dalam perundingan tersebut. Kyai Maja dan tawanan lain kemudian diserahkan langsung kepada Jenderal De Kock di Klaten yang sengaja mengawasi langsung perundingan tersebut.
Setelah berbagai perundingan mengalami kegagalan, maka pada tanggal 10 April 1829 petempuran antara pasukanDiponegoro dan Belanda dimulai kembali. Untuk mempersempit gerak pasukan Diponegoro, pertahanan pasukan Belanda yang tadinya berada di Kalibawang, dimajukan ke desa Wadas.
Pasukan Belanda dipimpin oleh Kolonel Chocius, Overste Sollewijn, dan Mayor van Spengler. Pada saat itu posisi PangeranDiponegoro berada di daerah Gowong. Pasukan Diponegoro D di bawah pimpinan Pangeran Sumanegara berusaha menyerang Grogol yang pada waktu itu telah behasil direbut Belanda. Pertempuran pada kurun tahun ini sangat luar biasa hingga Belanda mendatangkan bala bantuan dari luar Jawa seperti : Menado, Ambon, dan lain – lain. Semua didatangkan ke daerah pertempuran di barat.
2.1.3.Dukungan Kabupaten Roma (sekarang Kab KarangAnyar) terhadap Diponegoro
Pada saat terjadinya perang Diponogoro, Raden Tumenggung Kertanegara IV selaku bupati Roma saat itu bersama warganya ikut mendukung Pangeran Diponogoro. Kertanegara IV kemudian diberi gelar Senopati Banyakwide oleh Pangeran Diponogoro.
Pada tanggal 18 April 1829 Tumenggung Banyakwide tertangkap oleh Mayor Buschkens di Kemit. Meskipun Bupati Roma IV ini tertangkap oleh Belanda, perlawanan rakyat Roma terus berlangsung. Bahkan pasukan Belanda secara sekonyong-konyong diserang oleh pasukan rakyat di desa Candi.
Penyerangan mendadak ini mengakibatkan jatuhnya korban dipihak Belanda, sehingga desa Candi pun kemudian dibumihanguskan Belanda sebagai wujud kemarahan mereka, sekaligus untuk memberi peringatan pada rakyat yang mendukung Diponegoro.
Pada tanggal 31 Mei 1829 pertahanan Belanda di Merden diserang oleh pasukan Diponoegoro di bawah pimpinan Kertapengalasan, Jayasenderga dan lain-lain. Belanda pun memperkuat pertahanan di kawasan selatan dimulai dari Kemiri, Bayam, Bandong, Glagah, Linggis, Wawar (Mirit), dan Petanahan.
Pada tanggal 14 Oktober 1829 sepasukan patroli Belanda yang dipimpin oleh Mayor Dudzeele menangkap Kanjeng Ratu Ageng (Ibu Pangeran Dipanegara) dan RA. Mertanegara (putri Sentot Prawiradirja yang menjadi isteri Basah Mertanegara) di daerah Karangwuni, timur Kretek (sekarang masuk dalam wilayah kecamatan Rawakele).Peristiwa ini dilanjutkan dengan Perundingan Sentot Prawiradirja di Imogiri pada tanggal 17 Oktober 1829 yang berakhir dengan pernyataan Sentot untuk mengakhiri perlawanan terhadap Belanda.
Petempuran yang berlangsung lama dan berbagai tekanan terhadap beberapa pimpinan pasukan Pangeran Diponegoroternyata mengakibatkan semakin berkurangnya kekuatan Dipanegara. Banyaknya tokoh yang menyerah kepada Belanda seperti : Pangeran Aria Suriakusuma (pada tanggal 1 November 1829) dan Kertapengalasan (pada pertengahan November 1829), Tumenggung Kasan Munadi dan lain-lain, digunakan Belanda untuk berhubungan dengan Diponegoro.
Pada suatu ketika pernah pula terjadi pertempuran di tepi jurang. Pasukan Pangeran Diponegoro disergap oleh Belanda. Bahkan Belanda berhasil merampas beberapa ekor kuda pasukan Dipanegara. Pangeran Dipanegara beserta beberapa kawannya berhasil meloloskan diri. Pangeran Dipanegara sempat jatuh sakit dan dirawat di hutan Bulugantung.
Beliau ditemani pengikut setianya bernama Rata dan Bantengwareng. Setelah sembuh, Beliau melanjutkan perjuangannya kembali. Sesampainya di hutan Laban, PangeranDiponegoro kembali jatuh sakit. Bahkan tergolong lebih keras dari sakitnya yang sudah-sudah. Setelah sembuh, Beliau kembali melanjutkan perjuangannya di desa Kejawan. Di daerah tersebut Pangeran Diponegoro mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pasukan yang masih setia. Mereka datang dari Mataram antara lain: Mas Pengulu, Kyai Mlangi, Haji Imam Raji dan lain-lain.
Belanda dibuat panik dengan berita keberadaan PangeranDiponogoro di berbagai tempat. Patroli pun lebih giat dilakukan. Pada tanggal 8 Januari 1830 Pangeran Dipakusuma (putra Pangeran Diponegoro) berhasil ditangkap Belanda. Dilanjutkan pada tanggal 18 Januari 1830 Patih Danuredja (Patih Perjuangan Pangeran Diponogoro yang diangkat oleh rakyat) menyerahkan diri. Peristiwa beruntun ini semakin melemahkan kekuatan perjuangan pasukan Pangeran Diponogoro.
2.1.4.Pertemuan Pertama Pihak Belanda dengan Pangeran Diponegoro
Pada tanggal 16 Februari 1830, terjadilah petemuan yang pertama antara Pangeran Dipanegara dan wakil tentara Belanda yakni Kolonel Cleerens (mewakili Jenderal de Kock yang sedang berada di Batavia) di desa Roma Kamal, di sebelah utara Roma Jatinegara. Pangeran Diponegoro berada di Roma Kamal bersama Kyai Mohammad Syafi’i, penasehat PangeranDiponegoro pasca penangkapan Kyai Maja. Kyai Mohammad Syafi’i sendiri adalah adik ipar Pangeran Diponegoro (ia menikah dengan BRA. Maryam, adik Pangeran Diponegoro).
Pangeran Diponegoro menolak mengadakan perundingan dengan Kolonel Cleerens karena Beliau menganggap Kolonel tersebut tidak setingkat dengan Pangeran Dipanegoro sebagai pemimpin perang. Pangeran Diponegoro kemudian berpindah tempat di desa Kejawang, utara Soka, menunggu Jenderal De Kock kembali dari Batavia.
Pada tanggal 17 Februari 1830 untuk kedua kalinya Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro. Kali ini Beliau ditemui di desa Kejawang. Dengan alasan yang disampaikan Kolonel Cleerens akhirnya Pangeran Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Jenderal De Kock di Magelang. Pangeran Diponegoro pun berangkat dari desa Kejawang beserta rombongan menuju Magelang.
2.1.5.Penangkapan Pangeran Diponegoro
Di sepanjang jalan menuju Magelang, PangeranDiponegoro disambut hikmat oleh dan hormat oleh rakyat. Pada tanggal 25 Februari 1830 Jenderal De Kock tergesa – gesa meninggalkan Batavia setelah mendengar kabar bahwa Kolonel Cleerens berhasil mengadakan perjanjian perundingan dengan Pangeran Diponegoro.
Pada tanggal 8 Maret 1830 jam 12 Siang betepatan di bulan Ramadhan, Pangeran Dipanegara bersama rombongan kurang lebih 800 orang memasuki kota Magelang. Beliau disambut dengan upacara kehormatan oleh Jenderal De Kock beserta opsir-opsir Belanda seperti : Kolonel Cochius, Letnan Kolonel Roest dan lain-lain. Jenderal De Kock juga mempersembahkan kuda tunggangan yang bagus sekali kepada PangeranDiponegoro sebagai tipu muslihat. Sebelum kedatangan Pangeran Diponegoro di Magelang, ternyata Belanda telah menyebarkan berita palsu bahwa kepada rakyat bahwa kedatangan Pangeran Diponegoro bukan untuk berunding melainkan untuk meyerahkan diri.
Kuda tunggangan pemberian Jenderal De Kock diserahkan oleh Tumenggung Mangunkusuma sebagai tanda persahabatan. Esok paginya Pangeran Diponegoro diberi uang F 5000 untuk membeli barang-barang keperluan Beliau. Belanda juga mengirimkan lagi dua ekor kuda tunggangan PangeranDiponegoro yang berhasil ditangkap ketika peperangan. Pangeran Dipanegoro dan putra-putranya juga diberi kain laken untuk pakaian. Untuk biaya-biaya selama bulan puasa Belanda memberikan uang lagi sebesar f 5000.
Perundingan akhirnya dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 28 Maret 1830 (2 Syawal Tahun Jimawal 1758). PangeranDipanegoro datang berkuda diiringi oleh beberapa putera Beliau, pengikut-pengikut setia dan sekitar 100 pasukan bersenjata pada pukul setengah delapan pagi. PangeranDiponoeoro disambut oleh Jenderal De Kock.
Beliau bersama dengan Dipanegoro Muda (putra Beliau), RM. Jonad (putra Beliau), RM. Raab (putra Beliau), Basah Mertanegara dan Kyai Badaruddin. Pihak Belanda diwakili oleh jenderal De Kock, Residen Valck, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bahasa. Perundingan dilakukan di kamar kerja Jenderal De Kock. Letnan Kolonel yang lain mengawasi perundingan di kamar yang lain.
Inti dari Perundingan adalah Pangeran Diponegoro tidak pernah sedikit pun berubah tekad untuk mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa.
Pangeran Diponegoro yang tadinya berniat kembali di kediaman Beliau di Meteseh dan akan melanjutkan perundingan keesokan harinya akhirnya ditangkap Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Du Perron pada pukul sepuluh pagi.
Tempat perundingan yang telah dikepung oleh Belanda membuat pasukan Dipanegoro tidak berdaya. PangeranDiponegoro kemudian dimasukkan ke dalam kereta Residen yang sudah disiapkan. Beliau kemudian secepatnya dibawa keluar dari Magelang menuju ke Ungaran dengan pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps. Dari benteng Belanda di Ungaran, PangeranDiponegoro segera dibawa ke Semarang dan kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia. Dari Batavia Beliau kemudian dibawa ke Makasar di Benteng Ujung Pandang. Akhirnya setelah menjadi tawanan yang terkurung di dalam Benteng Ujung Pandang selama 25 tahun lamanya, pada tanggal 8 Januari 1855Pangeran Diponegoro wafat pada usia 70 tahun.
Berikut salinan laporan berita kematian Pangeran Dipanegoro yang ditulis oleh pemerintah Belanda dalam Proses Verbal:
2.1.6. Fakta Sejarah Proses Verbal Pangeran Diponegoro
Pada hari ini,tanggal delapan Januari seribu delapan ratus lima puluh lima, kami yang bertanda tangan di bawah ini telah pergi bersama-sama keruangan yang terletak di dalam Fort Rotterdam dan dipergunakan untuk tempat tinggal tawanan negara Pangeran Dipanegara dan keluarga serta pengiringnya dan mendapati bahwa tawanan negara tersebut pada pagi hari ini pukul setengah tujuh telah wafat dan menurut pendapat perwira kesehatan yang juga menjadi panitia ini kewafatan itu disebabkan berkurangnya kekuatan akibat usia yang lanjut.
Demikian dibuat dalam rangkap empat untuk dipergunakan dimana perlu.
Anggota-anggota panitia
(tt.)
J.G. CRUDELBACHAssisten – residen dan magistraat,
J. LION, mayoor – infanteri,
F.A.M. SCHMITZ, perwira kesehatan kelas satu.
(tt.)
J.G. CRUDELBACHAssisten – residen dan magistraat,
J. LION, mayoor – infanteri,
F.A.M. SCHMITZ, perwira kesehatan kelas satu.
Pada hari itu juga, atas permintaan Pangeran Diponegoro sebelum Beliau wafat, jenazahnya dimakamkan di kampung Melayu di kota Makasar. Isteri Beliau beserta putra – putranya antara lain RM Kindar (25 tahun) dan M. Dul Kalbi (20 tahun) memutuskan untuk tidak pulang ke Jawa. Di kota Makasar, pangeran Diponegoro meninggalkan seorang isteri bernama Ratnaningsih dan tujuh orang anak. Mereka kemudian diberi tanah dan rumah oleh Pemerintah Belanda.
Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, maka tersingkirlah ganjalan penting pemerintahan kolonial. Ini kita mengerti, karena perang yang sudah berlangsung lima tahun telah menyedot biaya besar. Maka yang harus segera menyusul adalah pemberlakuan trantib.
2.1.7.Pasukan dan Pengikut setia Diponegoro masih leluasa bergerak dan Kabupaten Kebumen.
Itulah yang membuat Belanda menempatkan dua bupati, yaitu untuk Kabupaten Puworejo dan Kabupaten Kebumen. Batas daerah Purworejo dan Yogyakarta adalah Pegunungan Menoreh, tanpa jalan sebagai sarana perhubungan, kecuali di bagian selatan dekat laut, daerah Urutsewu, yang masih merupakan bagian dari daerah Kasultanan Yogyakarta.
Kabupaten Kebumen di sisi selatan berbatasan juga dengan Urutsewu, dan barat dengan Kabupaten Roma yang masuk Kasultanan Yogyakarta. Batasnya sangat tajam karena berupa sungai, K.Lukulo. Bupati Purworejo ialah KRAA Tjokronegoro I sedang Bupati Kebumen KRAA Aroeng Binang I, dua-duanya diambil Belanda dari Surakarta.
Jika kita bertanya dari nama Purworejo kita dapat menyimpulkan bahwa kota itu baru, maknanya “yang paling dulu makmur”. Belanda membangun kota itu pada awal mereka menata keprajaan daerah Kedu Selatan bagian timur dan Purworejo dijadikan ibukota Keresidenan Bagelen. Itulah saatBagelan muncul sebagai nama tempat kedudukan pemerintahan.
Pada tahun 1901 Keresidenan Bagelen dihapus, dan Kabupaen Purworejo disatukan dengan daerah Kabupaten Wonosobo yang ada di utaranya. Kota Wonosobo juga dibangun Belanda di tempat yang bernama Ledok, semacam lembah, karena sekitarnya tinggi. Berapa pengamat menyatakan,bahwa lingkungan yang umumnya berlereng curam itu rentan longsor dan pernah ada sepetak hutan yang bergerak. Dari sana muncul kata wanasaba, hutan melanglang. Karena Belanda menempatkan di sana pejabat yang berasal yang dikuasai—boleh jadi dari Solo sama halnya dengan Purworejo—dengan sendirinya kota itu lalu disebut Wonosobo. Maka terbentuklah Keresidenen Kedu dengan ibukota Magelang.
Bentuk Keresidenan Kedu tampak aneh dan tidak ada jalan penghubung Purworejo dengan Ibukota Magelang. Bentuk itu tak lain adalah hasil “bagi-bagi daerah” dengan pihak yang ketika itu masih perlu diperhitungkan, Sultan Yogyakarta.
Baru sekitar tahun 1920-an, jalan penghubung Purworejo-Magelang terwujud, setelah bagian tanjakan yang sangat tajam dapat diatasi dan sekarang dikenal dengan nama Margoyoso. Jalan besar lintas selatan menuju Yogyakarta lewat Wates rampung setelah jembatan baru melintasi Kali Bogowonto di dekat Cangkrep dibangun. Itu terjadi setelah 1930, pengamat sejarah menyatakan, bahwa hal ini adalah karya insinyur Roosseno Soerjohadikoesoemo, salah seorang insinyur sipil Indonesia lulusan awal TH Bandung, Ia juga yang merencanakan jembatan Kali Serayu yang jauh lebih panjang. Sebelum jembatan Cangkrep ada, untuk menuju ke Yogyakarta dari Kedu Selatan, orang harus menyeberangi Kali Bogowonto dengan rakit di dekat Purwodadi.
Pada zaman Perang Diponegoro, di barat Kebumen terdapat Kabupaten Roma dengan pusatnya di Jatinegara yang letaknya seperti telah disinggung di atas, di tempat pasar Gombong. Kata “roma'” berasal dari bahasa Sunda reuma, yang artinya ladang setelah hutan asli ditebang. Tak perlu heran kita, dari segi sejarah, daerah Roma yang semula Reuma masuk ke “barat”. Karena yang berkuasa dari “timur”, Mataram, maka nama Roma diucapkan “Romo”. Kabupaten (semula Kadipaten) Roma dibentuk pada tahun 1553 sebagai hasil penggabungan dua kadipaten, Kadipaten Pucang dengan pusatnya di timur Gombong dan Kadipaten Kaleng yang daerahnya di tepi pantai selatan. Nama Pucang kini hanya dikenal penduduk setempat; dan yang ada sekarang Desa Kedungpuji.
Pada saat perang meletus, Bupati Roma dijabat K.R.T. Kertanegara IV (atau Kertonegoro jika kita menggunakan logat Timur). Bupati dengan rakyatnya berpihak pada Pangeran dan oleh Pangeran diangkat jadi senopati (panglima) dengan nama Banyak Widé. Dalam perkembangan selanjutnya, Bupati Banyak Wide disertai isteri bergerilya dengan berkuda di daerah Banyumas. Akhirnya mereka tertangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate. Karena usia bertambah dan makin rentan, keluarga Banyak Wide mengajukan permohonan agar yang bersangkutan dapat kembali ke Jawa, dan diizinkan untuk bertempat tinggal di Pejagoan di barat Kebumen, di seberang Kali Lukulo. Ketika meninggal, jenazah dimakamkan di Pekuncen di utara Gombong.
Setelah Bupati Banyak Wide tersingkir, Belanda mengangkat R.T. Sindoenegoro, bupati nayaka dari Yogyakarta untuk mengurus pemerintahan daerah Roma. Agar kewenanganya lebih luas, bupati diberi pangkat militer mayor. Pergolakan yang terus terjadi membuat Bupati R.T. Sindoenegoro keplayu (kabur atau 'hengkang', istilah Jepang dari zaman pendudukan) dan kembali ke Yogya.
3.Fakta Sejarah Kabupaten Ambal Priode 1830-1872 (44 Tahun)
Belanda memang tidak berdiam diri, tetapi terus melangkah. Selain Kabupaten Roma, atas dasar pertimbangan luas daerah Kedu Selatan di luar Purworejo dan Kebumen—yang dinilai sudah bisa dikelola—kemudian dibentuk Kabupaten Ambal yang mencakup daerah Urutsewu.
Bentuk daerah kabupaten ini memang aneh, memanjang lebih dari 60 kilometer dengan lebar tak seberapa. Aneh bentuk tidak berarti justru baik dipandang dari segi lain, yaitu kepemerintahan. Oleh sebab itu, pusatnya, ibukota, ditempat di tengah, bagian yang agak lebar, berseberangan denganPetanahan yang telah disinggung di atas.
Selain masalah tenaga dan asal calon pejabat, ada gunanya kita mengetahui sejarah daerah yang bersangkutan. Sri Sultan berpendapat bahwa orang yang akan ditempatkan sebagai pimpinan kedua daerah itu sebaiknya R.M. Abdoeldjalil alias R.M. Djojoprono dan R.M. Semedi alias R.M. Mangoenprawiro. Kedua-duanya masih dalam tahanan. Belanda dapat menyetujuinya, tetapi sebelumnya mereka harus dijinakkan dan dipersiapkan untuk tugas mereka.
Dengan istilah Inggris sekarang, debriefed dan conditioned. Mereka kemudian di”titipkan” pada bupati yang bertugas dalam kepemerintahan kolonial: R.M Mangoenprawiro diserahkan kepada Bupati Magelang, R. Adipati Danoeningrat, dan R.M. Djojoprono diserahkan kapada Bupati Purworejo, R. Adipati Tjokronegoro I. Yang penting, mereka jangan sampai menjalin hubungan dengan orang banyak.
Setelah kelihatan dapat memenuhi apa yang diharapkan, R.M. Mangoenprawiro jadi pembantu kolektur (hulpcollecteur, pengumpul pajak) di Muntilan, dan R.M. Djojoprono jadi anggota Landraad (Pengadilan Negeri) Purworejo.
Setelah dinilai ada kemajuan, jabatannya naik. R.M. Mangoenprawiro jadi collecteur di Kebumen, di bawahpengawasn Bupati Kebumen, R. Adipati Aroeng Binang I, sedang R.M.Djojoprono ketika jabatan beskal (fiscaal, sekarang jaksa) lowong, diangkat untuk menduduki tempat itu..
Pascaperang, Kabupaten Roma masih tetap masuk wilayah Kasultanan Yogya, dengan pengawasan Belanda. Pimpinan pemerintahan umum adalah R.T.Sindoenegoro dibantu oleh Bupati Anom R.T. Koesoemoredjo yang mengurus pembangunan kembali desa yang rusak sebagai akibat perang dan perpajakan.
Sekitar tahun 1839, di daerah Roma dan Ambal timbul huru-hara. Siapakah yang ada di belakangya? Tentu saja para mantan pengikut Pangeran Diponegoro. Sampai-sampai para bupati hengkang lagi. Agar trantib terjamin, Sri Sultan mengusulkan, bupati dua daerah itu dijabat oleh mantan pengikut Pangeran. Setelah para pemimpin gerakan tertangkap,R.M. Mangoenprawiro dijadikan wakil bupati di Ambal dan R.M. Djojoprono jadi wakil bupati di Roma. Karena dua daerah itu jadi aman, kedua orang itu selanjutnya ditetapkan jadi Bupati, R.M. Djojoprono untuk Kabupaten Roma dengan nama KRMAA Djojodiningrat dan R.M. Magoenprawiro dengan namaa KRMAA Poerbonegoro untuk Kabupaten Ambal. Kedekatan dua mantan ajudan Pangeran itu ternyata terus berlangsung. Dalam perkembangan sejarah, kawin-mawin terjadi di antara keturunan kedua-duanya sejak peringkat cucu.
Mereka memerintah hingga saat mereka mundur, setelah melewati masa penuh gejolak. Bupati Karanganyar Djojodiningrat mengundurkan diri pada tahun 1868, karena hubungannya dengan asisten residen tidak lagi seperti semestinya, dan Bupati Ambal Poerbonegoro bertugas hingga wafat pada 7 Maret 1871.
Maret tahun 1872, Kabupaten Ambal dihapus, disowak, afgeschaft, Pendopo dengan empat 'soko guru', tiang utamanya yang terbuat dari kayu jati mitu-tinggi yang sangat langka dipindah ke rumah kediaman Bupati Karanganyar.Bupati Poerbonegoro sempat memperoleh penghargaan bintang emas, dan barangnya kini disimpan oleh keturunannya.
Sejarah Kedu Selatan mengenal dua tokoh itu sebagai tonggak awal 'aturan main baru'. Merekalah yang jadi jembatani masa peralihan, dari yang semula daerah kasultanan kemudian berubah jadi daerah 'gubermen' seperti daerah yang lain.
Upaya pemerintahan Hindia Belanda dalam memutus ikatan antara pimpinan dan rakyat di dua daerah kabupaten baru itu tidak setengah-setengah Bagi keturunan dua bupati itu tidak lagi ada kesempatan untuk berkiprah di Karanganyar danAmbal, apalagi mereka yang dianggap Belanda diehards, yaitu mereka yang tidak dapat diajak bekerja sama. Itu sebabnya, daripada mendapat kesulitan, para keturunan itu memilih menyingkir ke daerah lain, dan kalau perlu 'menutup buku' sejarahnya. Jika nama juga disoal, yaah, apa boleh buat, menggunakan nama lain. Belanda juga tahu, justru si kepala batu itu yang dapat memimpin karena merasa memiliki dignity, martabat.
Nama RMAA Djojodiningrat dan RMAA Poerbonegorotidak dapat dipisahkan dari pacificatie daerah yang pada saat ini merupakan bagian barat Kedu Selatan. Pacificatie adalah kata Belanda yang menunjuk kepada upaya mereka memberlakukan trantib (ketenteraman dan ketertiban) seusai Perang Diponegoro.
Perang yang berlangsung antara tahun 1825—30 itu oleh Belanda disebut Java-oorlog (Perang Jawa), karena dianggap sebagai perlawanan terakhir orang Jawa terhadap upaya Belanda dalam memberlakukan kekuasaan mereka di negeri ini.
Perang itu benar-benar telah menguras tenaga dan keuangan pemerintah Belanda, sehingga mereka terpaksa 'menjual' yang kemudian dikenal sebagai Pamanoekan-Tjiasem Landen, tanah partikelir Pamanoekan-Tjiasem yang sekarang jadi bagian dari daerah Kabupaten Subang di Jawa Barat. Di daerah Jawa Timur ada juga tanah yang 'dijual' (digadaikan) seperti itu untuk menutup kekurangan anggaran negara.
Pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan yang disebut Cultuurstelsel, undang-undang wajib tanam. Pokok-pangkalnya karena pemerintah sudah kepayahan menghadapi anggaran yang terus tekor. Menurut teori, jangan sampai tindakan itu membebani rakyat, karena hanya sepertiga lahan milik rakyat yang digunakan untuk keperluan tanam-paksa, dan itu dibebaskan dari pajak. Hasilnya dijual di pasar dunia. Pelaksanaannya diserahkan kepada para kepala yang pribumi. Kenyataannya, rakyat dipaksa membudidayakan tanaman yang hasilnya laku di pasar dunia. Sebagai akibatnya, penderitaan rakyat makin menjadi-jadi, tentu saja di mana-mana terjadi penyimpangan.
Sejak tahun 1841, Kabupaten Roma berubah jadi Kabupaten Karanganjar, dan ibukotanya pindah dari Jatinegara ke Karanganyar yang baru dibangun. Ini berbeda denganKabupaten Ambal yang dibiarkan ada di daerah Urutsewu.
Pertimbangan pemerintah jajahan sudah jelas karena melihat ke masa depan. Tidak jauh di barat Purworejo dibangun Ibukota Kabupaten Kutoarjo, disisipkan di antara Kebumen dan Purworejo, dengan daerahnya membujur utara-selatan, dan bagian selatannya mencakup Urutsewu, dan ibukotanya terletak tidak menyimpang dari jalur jalan raya penghubung antaribukota Kedu Selatan. R.M. Sarwits Poerboatmodjo, buyut Poerbonegoro masih sempat jadi Bupati Kutoardjo.
Sama dengan Kabupaten Karaganjar, Kabupaten Kutoarjo dihapus ketika terjadi malaise. Kota Kutoarjo beruntung karena jadi persimpangan jalur rel keretapi lintas selatan Jawa, alih-alih Purworejo yang terletak menyimpang. Sewaktu pendudukan Jepang, jalur rel Kutoarjo-Purworejo dibongkar, tetapi dalam Pelita atas perintah Menteri Harjono Danutirto dipulihkan dengan alasan agar selain beban jalan raya berkurang—terutama waktu Lebaran—juga karena membludaknya pemudik dari arah barat.
Jika kita menelusuri sumber sejarah kabupaten lain, seperti kabupaten Banyumas memang nama Ambal banyak disebut sebagai tempat berdiamnya sejumlah keturunan Majapahit. Namun sejauh ini belum ada bukti arkeologis yang menyertainya.
Majapahit sendiri runtuh pada 1527 M pasca serbuan Demak. Mayoritas keturunan Majapahit -yang enggan bergabung dengan Demak- kemudian menyingkir ke Bali. Namun memang ada sebagian kecil komunitas Majapahit, yang telah berkembang sejak akhir abad ke-15, yang menempati wilayah barat nan terpencil seperti lereng Gunung Lawu. Disini komunitas pelarian itu mengembangkan budayanya sendiri yang cenderung flashback ke budaya prasejarah.
Pendirian Candi Sukuh dan Candi Cetho, yang kini masuk wilayah Kabupaten Karanganyar, menunjukkan hal itu. Kedua candi memiliki bentuk punden berundak, dengan ragam hias sederhana dan dihiasi beberapa relief yang sangat vulgar menunjukkan phalus (alat kelamin laki-laki) dan wiwara (alat kelamin perempuan). Ini berbeda dengan tradisi Hindu yang menyimbolisasikan keduanya secara lebih halus sebagai lingga dan yoni.
Ada sebuah lumpang batu (dengan corak prasejarah) yang pernah ditemukan di Ambal. Mungkinkah ini merupakan sisa peninggalan pelarian Majapahit? Bisa saja. Namun sejauh ini penyelidikan belum dilakukan.
Ada sebuah lumpang batu (dengan corak prasejarah) yang pernah ditemukan di Ambal. Mungkinkah ini merupakan sisa peninggalan pelarian Majapahit? Bisa saja. Namun sejauh ini penyelidikan belum dilakukan.
Ketika berdiri Kadipaten Panjer (pada 1642 M), sebenarnya kabupaten ini juga dikelilingi oleh kadipaten-kadipaten lainnya yang berdiri pada saat bersamaan maupun menyusul kemudian, seperti Kadipaten Kaleng (Puring), Kadipaten Kutowinangun, Kadipaten Karanganyar dan Kadipaten Ambal. Dalam Perkembangannya, Belanda kemudian menggabungkan Kaleng dan Karanganyar menjadi satu dengan nama regentschaap Karanganyar.
Dan akirnya pada 31 Desember 1935, Gubernur Jenderal de Jonge memutuskan untuk menggabungkan empat regentschaap yakni Karanganyar, Kebumen, Kutowinangun dan Ambal menjadi satu wilayah yang disebut Kabupaten Kebumen. Keputusan ini berlaku efektif pada 1 Januari 1936
Ada hal yang terabaikan dalam sejarah saat ini, yakni makam Bupati Ambal, berikut ini hasil penelusurannya kondisi makam Alm.K.R.A.A. Poerbonegoro bupati Ambal I dari keturunan trah Kolopaking babad alas Kebumen yang memimpin Kabupaten Ambal dari 1830-1872, kondisi saat ini kurang di perhatikan oleh Pemerintah daerah Kebumen, makam Alm K.R.A.A Poerbonegoro sebagai situs sejarah yang sangat mahal harganya, serta investasi wisata untuk ziarah dan studi sejarah ini belum sepenuhnya diperhatikan.
Hasil wawancara penulis dengan juru junci makam K.R.A.A Poerbonegoro, merupakan Bupati 1 kabupaten bapak Slamet (59) 11 Februari 2015 mengatakan, ”Jalan ke lokasi belu beraspal, penerangan makam belum ada, tidak adanya kesejehteraan kepada juru kunci (penjaga makam), serta tidak adanya rumah juru kunci untuk melayani tamu yang hendak datang ke makam R.A.A Bapal Slamet bercerita,” Alm K.R.A.A Poerbonegoro merupakan Bupati 1 kabupaten Ambal sebelum terbentuknya kabupaten Kebumen, dikala itu memimpin Kabupaten Ambal yang mempunyai wilayah dari dari timur Congot sampai Karangbolong yang sering terkenal nama urut sewu.
Pada masa kepmimpinannya K.R.A.A Poerbonegoro adalah sosok Bupati yang berjuang keras melawan penjajah Belanda bersama rakyatnya melakukan perang gerilya diwilayah urut sewu daerah Kebumen selatan, ungkapnya” beliau menyatakan, bahwa “Saya sudah mulai tahun 1972sebagai juru kunci, 4 turunan dari Eyang, Kakek, Mbah dan orang tuanya saya untuk menja makam ini, dulu pernah dikumpulkan Pemda kebumen, yang intinya akan di beri kesejahteraan atau gaji yang sepantas kepada penjaga juru kunci makam se kabupaten kebumen, tetapi sampai sekarang belum kunjung datang dan bahkan tidak ada berita akan di beri kesejahteraan,” bebernya’ “Walaupun tidak diperhatikan dari pemerintah, baik kabupaten, atau desa ini kami tetap melayani tamu jika ada yang hendak berziarah, pada prinsipnya ini sebuah tugas saya turun temurun IV turunan penjaga dari mbah, kakek, bapak dan saya sekarang ini. sebagai bentuk pengabdian dan merasa tanggungjawab atas konsdisi makam ini
Jika kita menilik jumlah desa di Kecamatan Ambal
16. Kenoyojayan
24. Pucangan
25. Sidorejo
30. Sinungrejo
Sebuah wilayah yang cukup luas dan patut, atau layak dipersiapkan menjadi Kabupaten tersendiri seperti dalam sejarah Kabupaten Ambal selama 1830-1872 (44 tahun).
4.Sebuah Fenomena “mimpi Kabupaten Ambal”
4.1.Kadipaten Ambal dalam versi wayang golek
Menurut hasil wawancara dengan dengan Dalang Basuki 7 Mei 2015 sebenarnya jika maujujur dan tak mengabaikan fakta sejarah secara semiotika kabupaten Ambal secara tersirat dan tersurat bisa diamati melalui lakon wayang golek versi Ambal- Kebumen dulu pernah menjadi pusat pemerintahan kabupaten. Ceritanya begini: Pada masa perang Diponegoro, Ambal dan pantai pesisir selatan, yang dikenal dengan Urut Sewu, dikuasai berandalan kejam dan menakutkan bernama Puja atau Gamawijaya. Dia sangat terkenal hingga warga mulai dari Karangbolong hingga Kesultanan Yogyakarta mendengar namanya.Untuk menumpasnya pemerintah kolonial Belanda mengadakan sayembara yang isinya: barang siapa yang mampu menangkap Puja akan mendapat hadiah besar. Ternyata tidak ada yang berani mengikuti sayembara itu.
Pada zaman perang Diponegoro itu, Semedi, putra dari selir Hamengku Buwono III, mengungsi ke Kedu. Pangkatnya naik dari ordenans menjadi kolektur di Kebumen dengan nama Raden Ngabehi Mangunprawira. Dia pemberani, dan berniat mengikuti sayembara itu. Dia kemudian berbicara dengan Lurah Desa Sijeruk, Wargantaka dan putranya Andaga. Wargantaka dan Puja adalah saudara seperguruan. Mereka sama-sama berguru pada Gamawikangka.
Berkat kerjasama itu, rahasia kekuatan dan kelemahan Puja akhirnya bisa diketahui Mangunprawira. Wargantaka mendukung Mangunprawira menumpas penjahat tersebut. Puja pun terbunuh. Mangunprawira dipromosikan menjadi Bupati Ambal seumur hidup, dengan nama K.R.A.H. Poerbanagara. Pada masa itu moyang saya diangkat menjadi Penghulu Kabupaten Ambal, namanya KH Yahya. Beliau adalah salah satu keturuan Brawijaya V.
Kabupaten Ambal hanya berlangsung 44 tahun dari tahun1828 – 1872. Setelah itu kabupaten Ambal dihapus dan dimasukkan ke dalam kabupaten Kebumen. Peninggalan pendopo kabupaten Ambal kemudian menjadi milik pribadi. Pada sekitar tahun 1940-an, kakek saya membeli bekas pendopo itu dengan cara dicicil dari gaji sebagai kepala sekolah SR (Sekolah Rakjat). Kemudian pada jaman perang kemerdekaan, sebagian rumah kakek saya itu dijadikan markas pejuang. Akibatnya bekas pendopo kabupaten itu dibom Belanda.
Untuk menghindari dijadikan sasaran lagi maka masyarakat beramai-ramai membongkar pendopo itu. Tumpukan kayu jati bekas pendopo itu menumpuk di samping rumah utama yang tidak ikut dibongkar. Tapi ada sedikit masalah ketika membongkar pendopo itu, 4 soko guru (tiang utama) pendopo tidak bisa dibongkar, bahkan ketika hendak digotong ramai-ramai tidak ada yang kuat. Kemudian nenek saya memerintahkan membuat “sego rosulan”, semacam selamatan bersih desa. Setelah selamatan itu, 4 soko guru dicoba digotong beramai-ramai, tapi tiba-tiba keempat soko guru yang masih tegak berdiri itu melompat pindah ke samping rumah utama. Dan di tempat itu soko guru itu dengan mudah dibongkar seperti pilar-pilar yang lain. Dan setelah itu, mata kakek saya tiba-tiba menjadi buta. Dan sekarang bekas pendopo kabupaten Ambal sudah tidak ada bekasnya lagi.
4.2.Kasus Petanahan
Setelah sekian lama dinanti, akhirnya muncul juga kesadaran masyarakat Ambal Resmi untuk berorganisasi dan bergerak bersama desa-desa lain di Urutsewu yang berjuang melawan ketidakadilan yang telah dialami bertahun-tahun. Entah sejak kapan mereka merencanakan, tapi yang jelas malam itu (Selasa, 9 September 2014) mereka, warga masyarakat yang sudah lelah merasakan penindasan, berkumpul di sebuah rumah sederhana untuk menyatukan sikap terhadap apa yang terjadi di desanya.
Ambal Resmi adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Ambal, desa yang sangat beruntung karena mempunyai banyak keistimewaan dibanding desa-desa yang lain. Selain sebagai pusat kuliner “Sate Ambal” yang kondhang sampai kemana-mana, desa ini juga merupakan pusat wisata musiman lebaran dengan atraksi wisata pacuan kuda, pasar malam dan wisata pantai. Selain itu desa ini juga dikenal sebagai pusat kesenian tradisional, yaitu kethoprak dan wayang kulit, disamping juga merupakan situs sejarah karena merupakan bekas ibu kota Kadipaten Ambal.
“Kemakmuran” Ambal Resmi ternyata tidak secara otomatis membawa kesejahteraan bagi warganya, terbukti bahwa sebagian masyarakat yang jumlahnya cukup banyak yang hidup dengan cara bertani di kawasan pesisir merasa gelisah karena didzolimi oleh penguasa. Pemagaran yang telah dilakukan oleh TNI AD atas restu kepala desa, tidak saja melukai hati para petani, tapi juga menjadi ancaman yang serius karena sewaktu-waktu mereka bisa kehilangan lahan pertaniannya.
4.5. Pemagaran di tanah Warga
Kurang lebih 6 bulan yang lalu, ketika TNI AD mensosialisasikan rencana pemagaran kawasan pesisir Urutsewu, masyarakat sudah menyampaikan penolakannya kepada kepala desa, akan tetapi diam-diam Kepala Desa Ambal Resmi, atas nama masyarakat, melayangkan surat “persetujuan bersyarat” kepada TNI AD, dan kemudian, ketika masyarakat mempertanyakan adanya kegiatan pemagaran di lahan-lahan mereka, dengan enteng Pak Kades menjawab “saya juga tidak tahu”.
Malam itu, ketika generasi tua dan muda berkumpul, terbukalah semua fakta tentang pemagaran dan tanah pesisir Urutsewu. Sebut saja Mbah Suto (75), dengan sangat meyakinkan beliau menceritakan bahwa dulu kepemilikan tanah masyarakat adalah sampai dengan pantai, terbukti bahwa akad jual beli pada waktu itu selalu menyebutkan bahwa batas sebelah selatan adalah banyuasin/pantai, “Rumiyin menawi sade siti nggih dumugi Banyuasin” tegasnya dengan berapi-api. Hal itu juga dibenarkan oleh Mbah Noyo (71) yang mengaku pernah melakukan transaksi jual beli tanah pesisir selatan dengan batas selatan laut.
Suasana diskusi malam itu begitu hangat meski angin yang menerobos jendela-jendela tak berdaun itu serasa menusuk tulang.
Setelah generasi tua menyampaikan sejarah kepemilikan tanah dengan “bahasa dongeng,” generasi muda segera menimpali fakta yang mereka temukan seputar pemagaran. “Bagaimana mungkin pak lurah tidak tahu menahu tentang pemagaran jika beliau membuat surat persetujuan ini,” kata Thomas (nama samaran) seraya menunjukkan foto copy surat persetujuan pemagaran yang ditandatangani kades dan ketua BPD. “Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan?” tegasnya berapi-api, disambut kebingungan dari peserta rapat yang shock.
Songsong agung yang dipundi-pundi dan diposisikan sebagai ratu adil itu ternyata telah mengkhianati mereka, rakyat yang memberinya tahta. Dan, celetuk salah seorang pemuda yang polos memecah kesunyian, “Lurah kan dipilih rakyat, jadi rakyat kan atasannya lurah, ya dia harus nurut sama rakyat.”
4.6.Gerakan Bersemi di wilayah “urut sewu”
Diskusi berlanjut dengan merumuskan apa yang harus dilakukan masyarakat untuk menyikapi pemagaran. Apalagi didengar kabar bahwa di wilayah Kecamatan Mirit BPN telah memproses pengajuan sertifikasi tanah pesisir oleh TNI-AD.
Akhirnya, setelah diskusi panjang lebar dan ngalor ngidul diperoleh kesimpulan bahwa harus dibentuk organisasi di desa untuk mewadahi perjuangan dan segera merapatkan barisan dengan desa-desa lain di Urutsewu dalam wadah USB-FPPKS.
Belajar dari sejarah perjuangan di Urutsewu, untuk menguatkan organisasi dan untuk menghilangkan ketergantungan pada seorang tokoh, maka organisasi dibentuk dengan menerapkan sistem kepemimpinan kolektif. Organisasi yang kemudian diberi nama GERAK BERSEMI (singkatan dari Gerakan Masyarakat Bersatu Membangun Ambal Resmi) ini dipimpin oleh dewan pimpinan yang berjumlah 3 orang. Dibentuk juga perangkat organisasi yang lain, yaitu sekretaris dan bendahara.
Agenda terdekat yang akan dilakukan organisasi ini adalah konsolidasi anggota, pengumpulan data dan informasi mengenai tanah pesisir selatan yang saat ini diklaim oleh TNI-AD sebagai “tanah Negara yang dikuasakan kepada TNI.” Di samping juga mengidentifikasi masalah-masalah lain yang dialami masyarakat dan penting untuk disikapi dan diselesaikan. Untuk itu telah dibentuk tim-tim kerja untuk masing-masing sub kegiatan.
Munculnya GERAK BERSEMI adalah bukti bahwa rakyatlah pemegang kebenaran, karena rakyat kecil ataupun tani kluthuk tidak akan mungkin bergerak jika tidak berpegang pada kebenaran dan benar-benar telah terinjak. Karena itu sudah saatnya pemerintah menunjukkan itikad baik untuk membela hak-hak rakyat, karena jika tidak maka hal ini akan menjadi bom waktu yang semakin lama daya ledaknya akan semakin besar dan dapat meledak sewaktu-waktu.
Bupati atau Juru Bicara TNI ?
Tanggapan FPPKS terhadap Surat Bupati ke Komisi Nasional No:590/6774
Pada alamat pengiriman Bupati menulis:
Kepada :
Yth. Ketua Komisi Nasional
Di JAKARTA
Yth. Ketua Komisi Nasional
Di JAKARTA
Tanggapan FPPKS:
Tak bisa diterima, penulisan alamat tujuan yang tidak lengkap, apalagi untuk sebuah lembaga sekelas Komisi Nasional HAM yang punya legalitas dan legitimasi tinggi.
Skema berikut ini:
- Isi Surat Bupati (dicetak miring)
- Tanggapan (petani) FPPKS
- Isi Surat Bupati (dicetak miring)
- Tanggapan (petani) FPPKS
Pada item selanjutnya Bupati menulis:
(1) Latihan TNI di Urutsewu (wilayah di pantai selatan Jawa Tengah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen) dilaksanakan sejak tahun 1937 memanfaatkan tanah Negara dengan lebar k.l 500 m dari air laut ke utara sepanjang k.l 22,5 km. Dengan status sebagai tanah Negara maka tidak melalui proses peminjaman dengan warga sekitar sebagaimana dimaksud dalam surat dari FPPKS kepada Komnas HAM
(2) Tanggapan FPPKS:
Pelaksanaan latihan tahun 1937 itu jelas-jelas bukan latihan TNI, tetapi latihan tentara kolonial. Sehingga mewarisi tradisi tentara kolonial yang merugikan kehidupan petani, tak bisa dibenarkan bagi cita-cita negara yang telah merdeka.
Pernyataan tanah negara dengan lebar k.l 500 meter, jelas merupakan klaim sefihak yang selalu dibuat-buat dan dibawa-bawa sebagai dalih untuk melegitimasi batas semu mengenai tanah negara.
Pernyataan tanah negara dengan lebar k.l 500 meter, jelas merupakan klaim sefihak yang selalu dibuat-buat dan dibawa-bawa sebagai dalih untuk melegitimasi batas semu mengenai tanah negara.
Karena fakta mengenai sejarah tanah di pesisir Urutsewu adalah apa yang dihasilkan dari Klangsiran Tanah pada tahun 1932, oleh pemerintah kolonial dengan partisipasi petani Urutsewu. Bukti yang berkaitan dengan batas tanah negara dan tanah rakyat adalah keberadaan Pal-Budheg; dan ditandai dengan kodevikasi Q222 untuk desa Setrojenar (Buluspesantren), Q216 untuk desa Entak (Ambal) dan Q215 untuk desa Kaibon (Ambal)
Catatan: Pal-Budheg dalam idiom lokal adalah sebutan untuk patok batas tanah, sesuai dengan statement ”nDoro Klangsir” (petugas Agraria). Patok batas tanah ini di desa Entak (Kec.Ambal sebelah barat) disebut Pal-Keben, sedangkan di daerah Ambal timur, desa Kaibon, Kaibon Petangkuran, dst; disebut pal Tanggulasi.
(3) Terkait dengan pengaduan perihal pemasangan patok oleh TNI dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada bulan Maret sampai dengan April 1998 dilaksanakan pengukuran batas tanah untuk daerah latihan dan ujicoba mulai dari muara sungai/kali Lukulo desa Ayamputih Kec. Buluspesantren sampai dengan muara sungai Wawar Desa Wiromartan Kec. Mirit dengan lebar k.l 500 meter dari air laut ke utara dan panjang k.l 22,5 Km dan ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan area Lapangan Tembak;
Tanggapan FPPKS:
3.a Konteks pelaksanaan pengukuran 500 meter itu semata-mata merupakan kepentingan DislitbangAD dalam memenuhi kebutuhan untuk terutama ujicoba senjata alutista. Tetapi substansi yang melekat di dalam jarak 500 m itu adalah fakta mengenai kepemilikan tanah sejak turun temurun. Sehingga segala bentuk kegiatan terkait pengukuran 500 meter ini bukan secara otomatis merupakan proses mutasi dan/atau pengalihan hak kepemilikan atas tanah.
Pemasangan patok pernah disebut oleh TNI sebagai penanda peringatan untuk saat latihan dan/atau uji coba senjata. Tetapi warga tidak percaya, karena jika untuk penanda (warning) maka cukup dengan pemasangan bendera merah seperti sebelumnya.
Di dalam item ”ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan Area Lapangan Tembak”konteksnya bukan persetujuan penyerahan dan/atau pengalihan status kepemilikan tanah; melainkan diketahui telah dilakukan pengukuran area untuk digunakan sebagai Lapangan Tembak.
Dengan kata lain, tandatangan Kepala Desa bukan merupakan persetujuan apalagi dijadikan legitimasi mutasi hak kepemilikan, tetapi konteksnya tetap dalam peminjaman area untuk latihan TNI dan area uji coba senjata.
Di dalam item ”ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan Area Lapangan Tembak”konteksnya bukan persetujuan penyerahan dan/atau pengalihan status kepemilikan tanah; melainkan diketahui telah dilakukan pengukuran area untuk digunakan sebagai Lapangan Tembak.
Dengan kata lain, tandatangan Kepala Desa bukan merupakan persetujuan apalagi dijadikan legitimasi mutasi hak kepemilikan, tetapi konteksnya tetap dalam peminjaman area untuk latihan TNI dan area uji coba senjata.
Pengukuran 500 meter, yang dilakukan belakangan, telah membuktikan bahwa ”sebenarnya” tanah negara itu bukan sejauh k.l 500 meter dari bibir pantai ke utara.
Meskipun begitu, bagi TNI dapat dibiaskan maknanya, yakni dilakukan semata-mata untuk mencari legitimasi baru mengenai batas tanah negara; sebuah konspirasi yang memanipulasi fakta sejarah. Akan tetapi, sejatinya, batas tanah negara itu berada pada bukti sejarah, yakni keberadaan ”pal-budheg” sebagai fakta sejarah yang sebenar-benarnya dan yang semestinya.
b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor 340/XII/2006 tanggal 12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah Berasengaja menyatakan bahwa berdasarkan musyawarah dan kesepakatan warga desa Setrojenar dengan TNI-AD …………….. pada 1 (satu) yaitu: “Masyarakat desa menyetujui dengan adanya tanah berasengaja digunakan untuk latihan dan ujicoba senjata oleh TNI-AD. Dan tidak menyangkut siapa pengelola serta apa status pengelola lokasi tersebut”;
Tanggapan FPPKS:
3.b Substansi sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Kades Setrojenar mengenai pemanfaatan tanah Bera sengaja untuk latihan TNI itu bukan berarti penghilangan dan/atau pengabaian terhadap hak kepemilikan yang melekat di atas tanah-tanah dalam zona Berasengaja.
Persetujuan Kepala Desa, tidak bisa diklaim sebagai representasi persetujuan masyarakat (para) pemilik tanah. Harus dicatat pula bahwa persetujuan mengenai tanah ”berasengaja” itu digunakan untuk latihan dan uji coba senjata.
Menurut Mantan Kades Nur Hidayat, Penyebutan (surat Kades) ini sebagai manipulatif dan tidak sesuai dengan kenyataannya; karena yang sebenarnya merupakan “bantahan”, terkait dengan pembagian hasil bumi atas pemanfaatan tanah areal latihan, tetapi dalam item ini dinukil hanya sepotong saja; sehingga membiaskan substansi dan konteksnya.
Menurut Mantan Kades Nur Hidayat, Penyebutan (surat Kades) ini sebagai manipulatif dan tidak sesuai dengan kenyataannya; karena yang sebenarnya merupakan “bantahan”, terkait dengan pembagian hasil bumi atas pemanfaatan tanah areal latihan, tetapi dalam item ini dinukil hanya sepotong saja; sehingga membiaskan substansi dan konteksnya.
Secara historis, munculnya zona ”berasengaja” sebenarnya harus dilihat dengan 2 perspektif:
Pertama, merupakan manifestasi konsep ekologi masyarakat tradisi masa lalu di Urutsewu.
Kedua, oleh karena keterbatasan mobilitas tenaga sehingga zona itu masih ”sengaja diberakan” (belum dibudidayakan); akan tetapi juga semua ini dalam konteks pemenuhan kebutuhan tersediakannya area penggembalaan bagi ternak petani di desa-desa pesisir Urutsewu. Secara dialektis, perkembangan kebutuhan hidup seiring mekarnya jumlah populasi penduduk, maka zona Berasengaja yang di dalamnya melekat hak ulayat dan/atau hak kepemilikan petani setempat; zona ini dibudidayakan untuk pertanian, khususnya tanaman holtikultura.
Pertama, merupakan manifestasi konsep ekologi masyarakat tradisi masa lalu di Urutsewu.
Kedua, oleh karena keterbatasan mobilitas tenaga sehingga zona itu masih ”sengaja diberakan” (belum dibudidayakan); akan tetapi juga semua ini dalam konteks pemenuhan kebutuhan tersediakannya area penggembalaan bagi ternak petani di desa-desa pesisir Urutsewu. Secara dialektis, perkembangan kebutuhan hidup seiring mekarnya jumlah populasi penduduk, maka zona Berasengaja yang di dalamnya melekat hak ulayat dan/atau hak kepemilikan petani setempat; zona ini dibudidayakan untuk pertanian, khususnya tanaman holtikultura.
c. Surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD (3 desa), mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya pada point 5 (lima) yaitu: ”TNI tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai tersebut sesuai aturan yang ada”;
Tanggapan FPPKS:
2.c: ”tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai”;
Bahwa di dalam 500 meter dari bibir pantai itu terdapat tanah rakyat yang disamping dari dahulu sudah merupakan”tanah pemajekan” sehingga terdata pula di Buku C Desa dan ber SPPT (dulu disebut ”pethuk”); juga merupakan warisan para leluhur. Ini menunjukkan bahwa secara historis dan hukum administrasi pertanahan, itu milik petani. Tetapi hak kepemilikan ini telah diabaikan oleh klaim sefihak tentang batas 500 m dari bibir pantai. Fakta lain terkait ”penetapan” 500 m ini adalah bukan dengan dasar hukum yang valid. Penetapan batas 500 m hanya didasarkan pada tradisi (baca: kebiasaan) tentara Kompeni; pun semua itu diragukan validitasnya.
Kesaksian warga menyebutkan, bahwa pada zaman fasisme Jepang pun; latihan kemiliteran dilakukan di selatan ”pal-budheg” dengan dibuat lorong dan kamuflase rumput ”gulung-gulung”. Makna dari testimoni ini adalah fasisme Jepang pun tahu ”hukum-hukum teritorial” yang telah jadi penetapan aturan sejak sebelumnya, yakni sejak paska Klangsiran Tanah tahun 1932; dimana batas ”tanah negara” adalah dari garis air hingga sejauh ”pal-budheg” saja; yakni sejauh k.l 200-230 meter.
Berdasarkan kesaksian lain, yakni Agus Suprapto, mantan anggota DPRD Kab. Kebumen; yang pernah melihat dokumen peta tanah pada Kantor BPN Jateng; tak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen yang dikonfirmasi pada agenda audiensi dengan DPRD Kab. Kebumen, 13 Desember 2007: bahwa sampai sekarang tak ada tanah TNI di Urutsewu dan belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
Bahwa di dalam 500 meter dari bibir pantai itu terdapat tanah rakyat yang disamping dari dahulu sudah merupakan”tanah pemajekan” sehingga terdata pula di Buku C Desa dan ber SPPT (dulu disebut ”pethuk”); juga merupakan warisan para leluhur. Ini menunjukkan bahwa secara historis dan hukum administrasi pertanahan, itu milik petani. Tetapi hak kepemilikan ini telah diabaikan oleh klaim sefihak tentang batas 500 m dari bibir pantai. Fakta lain terkait ”penetapan” 500 m ini adalah bukan dengan dasar hukum yang valid. Penetapan batas 500 m hanya didasarkan pada tradisi (baca: kebiasaan) tentara Kompeni; pun semua itu diragukan validitasnya.
Kesaksian warga menyebutkan, bahwa pada zaman fasisme Jepang pun; latihan kemiliteran dilakukan di selatan ”pal-budheg” dengan dibuat lorong dan kamuflase rumput ”gulung-gulung”. Makna dari testimoni ini adalah fasisme Jepang pun tahu ”hukum-hukum teritorial” yang telah jadi penetapan aturan sejak sebelumnya, yakni sejak paska Klangsiran Tanah tahun 1932; dimana batas ”tanah negara” adalah dari garis air hingga sejauh ”pal-budheg” saja; yakni sejauh k.l 200-230 meter.
Berdasarkan kesaksian lain, yakni Agus Suprapto, mantan anggota DPRD Kab. Kebumen; yang pernah melihat dokumen peta tanah pada Kantor BPN Jateng; tak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen yang dikonfirmasi pada agenda audiensi dengan DPRD Kab. Kebumen, 13 Desember 2007: bahwa sampai sekarang tak ada tanah TNI di Urutsewu dan belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
Kesaksian lainnya, Sugeng, Paryono, Nur Hidayat (Setrojenar), pada saat
Musyawarah 8 November 2007 sebagaimana dimaksud dalam item (2.c) surat Bupati; fihak DislitbangAD (Alimudin) hanya menyosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah negara atau ’tanah hankam” , tanpa menyebut UU apa yang mengatur itu.
Ini dipandang sebagai tindakan pembodohan dan pembohongan public dan semata-mata hanya mengacu pada kepentingan sefihak DislitbangAD.
Tetapi, yang jelas, tak semua pemilik tanah di zona 500 meter dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sejak dahulu hingga kini; belum pernah sekalipun tercapai kata sepakat maupun persetujuan dari masyarakat dalam berkali-kali musyawarah atau sosialisasi.
d. Patok dan peringatan kepada masyarakat yang letaknya berada di pinggir Jl.Diponegoro (JJLS) merupakan Ring Pengamanan terjauh sebagai tanda pemberitahuan oleh personel pengamanan supaya masyarakat tidak masuk melebihi jarak ......................... selanjutnya untuk menghindari anggapan dan pemahaman yang kurang tepat dari masyarakat /warga, sebagian besar patok itu sudah dilepas dan sebagian dicabut oleh masyarakat;
Musyawarah 8 November 2007 sebagaimana dimaksud dalam item (2.c) surat Bupati; fihak DislitbangAD (Alimudin) hanya menyosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah negara atau ’tanah hankam” , tanpa menyebut UU apa yang mengatur itu.
Ini dipandang sebagai tindakan pembodohan dan pembohongan public dan semata-mata hanya mengacu pada kepentingan sefihak DislitbangAD.
Tetapi, yang jelas, tak semua pemilik tanah di zona 500 meter dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sejak dahulu hingga kini; belum pernah sekalipun tercapai kata sepakat maupun persetujuan dari masyarakat dalam berkali-kali musyawarah atau sosialisasi.
d. Patok dan peringatan kepada masyarakat yang letaknya berada di pinggir Jl.Diponegoro (JJLS) merupakan Ring Pengamanan terjauh sebagai tanda pemberitahuan oleh personel pengamanan supaya masyarakat tidak masuk melebihi jarak ......................... selanjutnya untuk menghindari anggapan dan pemahaman yang kurang tepat dari masyarakat /warga, sebagian besar patok itu sudah dilepas dan sebagian dicabut oleh masyarakat;
Tanggapan FPPKS:
2.d Tindakan pencabutan patok TNI oleh masyarakat, lebih karena perwujudan melindungi hak kepemilikan tanah rakyat yang terancam.
Disebut terancam karena memang paska tindakan ini muncul ancaman dari Panglima Kodam IV / Diponegoro waktu itu (SM,...) yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak patok TNI, akan diambil tindakan tegas.
Apa makna dari ”ancaman” ini, adalah menggugah ingatan kolektif massa akan sejarah meletusnya Perang Diponegoro, dimana tentara Kumpeni melakukan pematokan tanah-tanah rakyat.
Disebut terancam karena memang paska tindakan ini muncul ancaman dari Panglima Kodam IV / Diponegoro waktu itu (SM,...) yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak patok TNI, akan diambil tindakan tegas.
Apa makna dari ”ancaman” ini, adalah menggugah ingatan kolektif massa akan sejarah meletusnya Perang Diponegoro, dimana tentara Kumpeni melakukan pematokan tanah-tanah rakyat.
Disamping ancaman ini, tengara patok sejauh ”ring Pengamanan I” 750 m dan bahkan “ring pengamanan lain” sejauh 1000 m; pada perkembangannya dijadikan dalih penguasaan dan/atau dalih yang mengarah pada kepemilikan DislitbangAD atas tanah di situ.
Bukti dari sinyalement ini adalah ”konsideran” apa yang kemudian muncul dalam naskah Bantek ”Executive Summary” penyusunan Draft RaPerda RTRW yang pertama. Draft RaPerda ini dipaparkan di DPRD pada 13 Desember 2007 oleh Konsultan Teknis dari CV. Wisanggeni, Magelang. Dan saat itu, ditolak, baik oleh DPRD apalagi oleh petani Kebumen Selatan.
Substansi dari Draft RaPerda RTRW-I adalah: rancangan penetapan kawasan Hankam/ TNI 1000 meter kali 22,5 Km. Juga bunyi fasal ”di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan dan keamanan.
Betapa berbahayanya ”ruh” militerisme ini. Tetapi rupanya Bupati dan pejabat lembaga Negara lainnya tidak menyadarinya. Dan bahkan “lupa” dengan apa yang menjadi tuntutan petani dalam upaya-upaya hingga aksi demonstrasi massa sebelumnya.
e. Sebagai bukti jika tanah tersebut merupakan tanah warga (selain tanah berasengaja) yaitu pada saat Pemerintah Kabupaten Kebumen melaksanakan pembebasan tanah yang terkena Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) semua warga yang memiliki tanah tersebut mendapat ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Kebumen;
Tanggapan FPPKS:
Betapa berbahayanya ”ruh” militerisme ini. Tetapi rupanya Bupati dan pejabat lembaga Negara lainnya tidak menyadarinya. Dan bahkan “lupa” dengan apa yang menjadi tuntutan petani dalam upaya-upaya hingga aksi demonstrasi massa sebelumnya.
e. Sebagai bukti jika tanah tersebut merupakan tanah warga (selain tanah berasengaja) yaitu pada saat Pemerintah Kabupaten Kebumen melaksanakan pembebasan tanah yang terkena Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) semua warga yang memiliki tanah tersebut mendapat ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Kebumen;
Tanggapan FPPKS:
2.e Item ini tak lebih hanya upaya manipulatif dalam TNI-AD membangun opini yang seakan “pro-rakyat”. Diktum dalam kurung (selain tanah berasengaja) itu, harus dimaknai ke dalam 2 perkara: pertama, bahwa tanah berasengaja, pada dasarnya -secara histories- adalah “tanah rakyat” karena berada di utara “pal-budheg”. Kedua, bahwa -secara filosofis- “tanah berasengaja” adalah tanah rakyat yang sengaja diberakan, dalam makna, tidak dibudidayakan untuk pertanian; karena dua hal: sebagai ”sabuk hijau” konsep ekologi dalam masyarakat tradisi dan sebagai zona untuk penggembalaan ternak penduduk.
Penjelasan ini mengandung “dualisme” dan tidak memiliki integritas. Faktanya pada awal penentuan trash jalan JJLS, Panglima Kodam IV/Diponegoro mengajukan permohonan pemberian ganti rugi pembebasan tanah TNI-AD kepada Gubernur Jateng sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah Provinsi. Artinya apa? TNI-AD berasumsi memiliki tanah di kawasan (Urutsewu) yang akan dijadikan trash JJLS.
(3) Terkait dengan kerusakan tanaman pertanian milik petani dapat dijelaskan sebagai berikut:
(3) Terkait dengan kerusakan tanaman pertanian milik petani dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Surat Camat Buluspesantren Nomor: 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI yang diralat/disusuli dengan Surat Camat Buluspesantren Nomor: 141/261 tanggal 1 Desember 2007 dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD 3 (tiga) desa, mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya yaitu: ”Apabila pada saat terjadi pelatihan yang mengakibatkan kerusakan tanaman milik warga yang berada di luar tanah milik TNI yang 500 m dari bibir pantai agar diberikan ganti rugi kerusakan yang dikoordinir oleh Bpk. Kapt. Suseno , sedangkan kerusakan yang ada di wilayah 500 m tidak ada penggantian kalau terjadi/ menimpa tanaman atau benda di sekitar tempat latihan;
b. Tanggapan FPPKS:
3.a Bahwa segala proses yang dilakukan, termasuk musyawarah, bersifat persetujuan pemakaian tanah (berasengaja, 500m) untuk latihan TNI. Hal ini tidak kemudian merupakan legitimasi pemakaian tanah dengan tujuan tersebut di atas dan menjadi dasar substansial dari kata tanah milik TNI yang 500 m, sehingga:
- tidak membedakan pengertian pemberian ganti rugi kerusakan tanaman di lokasi tertentu;
- kerusakan tanaman saat ada latihan bukan melulu yang diakibatkan langsung; tetapi akibat pelaksanaan latihan yang diikuti oleh larangan melakukan pekerjaan bagi petani (juga nelayan) jelas-jelas telah mengakibatkan kerusakan tanaman, terutama, pada saat harus merawat, menyiram serta penanggulangan di musim hama; tetapi lantaran ada latihan, tak bisa melakukan apa-apa..
- Disamping dampak kerusakan tanaman ini, kerugian petani (dan bahkan juga nelayan) yang tidak bekerja karena larangan selama ada latihan; tak pernah diperhitungkan.
b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor: ..... pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang Tanah Bera Sengaja menyatakan bahwa hasil musyawarah dan kesepakatan warga Desa Setrojenar dengan TNI-AD yang intinya dan tertuang pada point 3 (tiga) yaitu: “Jika sewaktu-waktu tanah tersebut tidak digunakan TNI untuk latihan , masyarakat berhak untuk menanam tanaman di lokasi tersebut dan apabila rusak akibat kegiatan latihan TNI masyarakat tidak berhak menuntut ganti rugi”;
- tidak membedakan pengertian pemberian ganti rugi kerusakan tanaman di lokasi tertentu;
- kerusakan tanaman saat ada latihan bukan melulu yang diakibatkan langsung; tetapi akibat pelaksanaan latihan yang diikuti oleh larangan melakukan pekerjaan bagi petani (juga nelayan) jelas-jelas telah mengakibatkan kerusakan tanaman, terutama, pada saat harus merawat, menyiram serta penanggulangan di musim hama; tetapi lantaran ada latihan, tak bisa melakukan apa-apa..
- Disamping dampak kerusakan tanaman ini, kerugian petani (dan bahkan juga nelayan) yang tidak bekerja karena larangan selama ada latihan; tak pernah diperhitungkan.
b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor: ..... pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang Tanah Bera Sengaja menyatakan bahwa hasil musyawarah dan kesepakatan warga Desa Setrojenar dengan TNI-AD yang intinya dan tertuang pada point 3 (tiga) yaitu: “Jika sewaktu-waktu tanah tersebut tidak digunakan TNI untuk latihan , masyarakat berhak untuk menanam tanaman di lokasi tersebut dan apabila rusak akibat kegiatan latihan TNI masyarakat tidak berhak menuntut ganti rugi”;
Tanggapan FPPKS:
- Nukilan atas Surat Kades Setrojenar ini diambil sepotong dan tidak secara keseluruhan, sehingga dapat dilihat konteksnya secara lebih obyektif.
- Substansi dari item ini cuma retorika untuk dalih dan tujuan menguasai tanah milik petani dan/atau tanah milik desa.
c. Setiap TNI-AD selesai melaksanakan latihan menembak selalu dilakukan pembersihan lapangan maupun pengecekan tanaman masyarakat yang terkena dampak dari latihan, jika ada kerusakan tanaman sudah pasti dimusyawarahkan terhadap pemilik tanaman tentang kerugian. Hal tersebut sudah merupakan ketentuan dan aturan TNI setiap latihan;
d. Tanggapan FPPKS:
- Pembersihan lapangan memang harus dilakukan; tetapi pernah terjadi kasus ditemukannya bom mortir bersirip di lahan pertanian. Lalu diambil dan dibawa pulang oleh anak-anak dan meledak di rumah penduduk yang mengakibatkan kematian 5 anak secara tragis;
- Kerusakan tanaman tidak semata yang diakibatkan langsung dari pelaksanaan latihan, tetapi sebagai dampak tak langsung karena larangan melakukan kegiatan pertanian, sehingga tanaman holtikultura menjadi layu dan sebagian mati; terlebih ketika musim serangan hama.
4. Terkait dengan uji coba senjata berat berdasarkan keterangan dari pihak TNI-AD dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kegiatan uji coba yang dilaksanakan terutama penembakan dengan amunisis mulai dari caliber 5,56 mm sampai dengan radius maksimal bau yang masih terasa k.l 300 m sudah hilang terpecah angin sedang jarak dari pemukiman ke arah latihan k.l 800 m;
Tanggapan FPPKS: 4.a Penting diketahui bahwa latihan uji coba senjata berat menimbulkan bukan cuma dampak lingkungan saat terjadi latihan; akan tetapi dan terutama paska latihan dengan jeda waktu tak terukur, di kemudian hari dilakukan pemusnahan sisa latihan. Disamping amunisi mortir sisa latihan yang ditanam di lahan pertanian dan jelas-jelas berbahaya. Melainkan juga tindakan pemusnahan sisa-sisa amunisi dan barang-barang lain dengan cara dibakar di lokasi sebelah barat jalan akses ke pantai dan bahkan pembakaran amunisi yang juga dilakukan di tempat terbuka, di jalan rintisan perkebunan holtikultura.
b. Jenis rudal atau bom yang disebutkan oleh masyarakat, pengujian materiil ini bersifat menguji kemampuan terbang dan kecepatan meluncurnya badan roket dan tidak dilengkapi dengan hulu ledak sesuai perkiraan masyarakat, roket buatan PT. Dirgantara Indonesia hanya dilengkapi munisi caliber 90 mm menguji kemampuan ledakan yang ditembakkan ke tanggul atau gunungan kurang lebih 1.000 m;
Tanggapan FPPKS:
Perlu pengecekan terhadap amunisi (bom) mortir dengan kodevikasi 105 H HC SMOKE CTG M84C1; apakah berhulu ledak atau tidak.
Juga fakta penemuan bom sisa latihan TNI yang ditemukan anak desa Setrojenar, kemudian meledak dan menyebabkan kematian dengan cara yang tragis.
Substansi item b ini juga tidak secara jelas merupakan tanggapan atas pengaduan kami, sehingga jadi bias dan merupakan ”plintiran” masalah. Karena PT Dirgantara Indonesia, memang bukan “pabrik senjata”.
Juga fakta penemuan bom sisa latihan TNI yang ditemukan anak desa Setrojenar, kemudian meledak dan menyebabkan kematian dengan cara yang tragis.
Substansi item b ini juga tidak secara jelas merupakan tanggapan atas pengaduan kami, sehingga jadi bias dan merupakan ”plintiran” masalah. Karena PT Dirgantara Indonesia, memang bukan “pabrik senjata”.
c. Di setiap pelaksanaan latihan TNI-AD sebelumnya sudah dilaksanakan peninjauan medan terkandung maksud untuk mengetahui keadaan medan sehingga dapat menyesuaikan dengan medan yang sebenarnya untuk kendali sarana dan prasarana maupun senjata yang digunakan.
Demikian untuk menjadikan maklum.
Demikian untuk menjadikan maklum.
Bupati Kebumen; H. BUYAR WINARSO, SE
Tanggapan FPPKS:
- tanggapan untuk item yang bernada retorika ini, sudah cukup jelas tergambar pada tanggapan kami sebelumnya.
- Secara keseluruhan nampak bahwa dalam hal ini, Bupati Kebumen, yang relative masih baru menjabat; tidak paham persoalan kami dan tidak mau bicara terlebih dahulu kepada rakyat, khususnya petani Kebumen selatan yang merupakan kontributor amat signifikan dalam pemenangan bursa pemilukada lalu. Kini petani kecewa pada Bupati yang diketahui “cacat budaya”.
‘
Sumber Buku:
- Brandes, J, BABAD TANAH JAWI Deel LI, 1900, Batavia: Albrecht Co, Martinus Nyhoff.
- De Graaf, H.J, HISTOGRAFI HINDIA BELANDA, Jakarta, Bhratara, 1971.
- P.J.F Louw, Kaarten En Teekeningen DE JAVA – OORLOG van 1825 – 1830, No. 2; Vestelijk Gedeelte van het Oorlogtoonel; Batavia; Topographisch Bureau 1897.
- M.D, Sagimun, Pahlawan Dipanegara Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan Tak Kunjung Padam), 1956, Jogjakarta, Tjabang Bagian Bahasa, Djawatan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. Jogjakarta MCMLVII.